…
bersamamu itu perlu suatu sikap yang dinamakan dengan “cara yang berkebudayaan”.
saat bicara lagu, dengan intonasi seolah-olah tak berat sebelah lebih tertarik pada salah satu genre, aku kan berkata: “nada-nada diatonis terlalu mendominasi. sudah perlu kita kembali pada denyut bunyi pentatonis..”, tanpa aku tahu apa artinya semua itu.
saat aku kangen kamu, cara yang berbudaya adalah bertanya apakah merasa terganggu saat kutelpon dirimu. lalu kupilihkan tema menarik kekinian. seputar entang wiharso, haruki murakami, basquiat, sarita fraya, sochi, crimea, atau asap kebul riau. ini semacam semangat zeitgeist. cara yang begitu berkebudayaan..
masih bingung dengan cara kita berkebudayaan?
cara berkebudayaan itu tidak gontok-gontokan. pantang menggunakan tanda seru. lebih banyak gestur tubuh. menerka mimik wajah dan bersikap tenang.
cara berkebudayaan adalah surat-suratan panjang antara aku dan kamu dengan taburan quotes penulis lawas. semakin asing namanya dan sukar disebut, maka semakin berkebudayaan kita.
ukurannya mulai agak mudah bukan?
lantas cara berkebudayaan adalah saat makan malam kita tidak membicarakan android vs apple. atau lover vs loser atau durant vs lebron atau risma vs bonbin. namun kita bicara soal bagaimana kesiapan kita menghadapi masyarakat ekonomi asean yang sudah di depan mata. bolehlah sedikit bicara mengapa sweet lebih banyak disebut dibanding divine. atau mengapa teknologi plasma nutfah lebih cerah masa depannya daripada pengembangan padi gogo rancah.
agak terlalu kuna kita bicara new-keynesian, bicara cloud computing, bicara bitcoins. Namun ada cara yang lebih berkebudayaan jika kita bicara nilai moral dari etika protestan, ajaran falsafah pembebasan, pandangan kritis sejauh mana islam bisa membawa perubahan harkat dan martabat pemeluknya, tanpa ada dera emosionil. tanpa perlu mengepalkan tangan. tanpa perlu merapal doa dan mencurigai kita telah durhaka dengan sendirinya.
oh ya.
saat mencium kamu pun harus dengan cara yang berkebudayaan..
jangan berbau prancis dengan lumatan bibir yang terlalu memburu, tapi pilihlah ala adigang adigung adiluhung. dimulai dari kening, dilanjut ubun ubun, pundak lutut kaki lutut kaki. pipi. baru rekahan bibir di antara dua paha…
eits, ternyata cara yang berkebudayaan pun sejatinya perlu mementingkan perihal melestarikan jumlah kelestarian manusianya…
malam ini, izinkan saya menanggalkan cara cara berkebudayaan.
sebentar lagi kukan menindihmu dengan tanpa cara berkebudayaan…
agar kita lestari.
WOOHOO!
*versi aselinya ditulis di akun path tanggal 13 Maret 2014 pk. 23.59 WIB*