Pembeli Pertama

 Image

Siti memutar otak kembali. Darah pedagangnya belum memudar meski sudah ditempa dengan banyak cobaan. Usaha furnitur kayu jatinya bangkrut sampai akar-akar, membuat dia dan suaminya terhempas ke kasta terendah. Dari semua keluarga besar Handoyo, Siti sebenarnya adalah yang paling diramalkan akan sukses seperti ayahnya. Dia cerdas, jago hitung-menghitung, tahu peluang, dan pintar dalam pemasaran. Namun, dari empat bersaudara, Siti menjadi yang paling apes. Ketiga kakak laki-lakinya sudah berhasil membangun usaha masing-masing. Dari pengusaha material, peternak lele, dan kakak tertuanya menjadi juragan durian yang kini melebarkan sayap ke bidang jual-beli tanah.

Ketiga kakaknya maklum, Siti memang menjadi pewaris terbanyak harta keluarganya, namun Siti tak punya keberanian lebih seperti ketiga lainnya. Sampai Siti menikah dengan Joko, kakak-kakanya yang mengajari cara berbisnis di lapangan. Memintanya membantu di toko material, mengajak Siti ke tempat penjualan lele, sampai diikutkan kakak tertuanya saat dia harus tawar menawar tanah. Semua berjalan dengan baik, tanpa hambatan. Terlebih, Siti gampang diajari, juga ulet. Dia mewarisi sifat mendiang ayahnya yang rajin, enggan mengeluh, dan jauh dari kata putus asa. Tak ayal, dulu, ayahnya menjadi pengusaha serba bisa yang bertangan dingin.

Siti sudah mencoba banyak bidang usaha. Dimulai dari membuka toko kelontong di pasar. Awalnya berjalan baik, sampai tiga bulan kemudian usahanya mulai sepi. Pungutan preman dan ‘keamanan’ datang tiap hari, sedang saingan lebih banyak. Siti dan suaminya bertahan sampai tiga bulan berikutnya, kemudian gulung tikar. Pil pahit pertama mereka, ditelan dengan lapang dada. Usaha tak selamanya mulus, selalu ada masa di mana kita ada di bawah—kata ayahnya dulu. Siti menguatkan hati, lalu memutar otak kembali.

Usaha kedua dan ketiga juga tak semulus bayangan Siti. Dia menjiplak usaha kakak keduanya, menjadi peternak hewan. Pun tak semudah seperti yang Siti lihat dan praktekan saat dia diajak kakaknya mengurusi usahanya. Suami Siti mulai putus asa. Titel Spd di belakang namanya dirasa tak berguna.

”Aku bisa menjadi guru,” ujar Joko di tengah malam ramadan. Malam itu, ramadan baru berjalan tujuh hari. Keduanya tak nyenyak tidur, memikirkan usaha mereka yang tak kunjung memberi pertanda baik. ”Sementara, kita bisa mendinginkan kepala. Mikirin apa yang harus diperbuat.” Bengkel motor mereka yang sudah berumur setahun juga sesepi kuburan. Tadi siang, dengan berat hati Joko menutupnya.

”Kamu capek?” Siti memiringkan badannya. Joko terlihat putus asa di bawah remang lampu 5 watt di kamar berukuran kecil mereka. Siti memutuskan untuk hidup sendiri, berpisah dari kakak-kakaknya, dari harta warisan ayahnya. Rumah kontrakan dengan satu kamar, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu dirasa cukup untuk berteduh. ”Tapi aku masih mau nyoba, Mas. Aku nggak percaya sama kutukan yang diceritain bapak.”

”Kutukan?”

**

Handoyo menyembelih ayam cemani di bawah pohon asem di pinggir desa. Darah dari lehernya menetes ke atas gundukan tanah yang ditaburi bunga segar. Syarat terakhir agar usahanya lancar telah dipenuhi, maka dia tak harus khawatir akan bangkrut.

Handoyo mendengarnya dari pembicaraan orang asing di dalam angkutan umum yang akan membawanya pulang dua hari lalu. Laki-laki beruban satu-dua dengan semangat menceritakan Ki Agung. Dia menceritakan tentang tanahnya yang tiba-tiba terjual dengan harga tinggi setelah dia pulang dari rumah Ki Agung. Handoyo penasaran. Dia pergi ke rumah Ki Agung dengan bantuan warga sekitar. Rumahnya di tengan hutan, dan saat itu hari sudah mulai malam.

Dia sampai di rumah kayu itu sejam kemudian. Sepi dan gelap. Tidak ada penerangan selain lampu minyak yang tergantung di tiang bambu penyangga atap. Atapnya dibuat dari daun lontar, sedang kursi di depan rumahnya terbuat dari papan kayu yang sudah menghitam. Langkahnya ragu, namun keberaniannya muncul seiring bayangan keluarganya yang ada di ambang jurang kemiskinan.

”Masuk.”

Suara dari dalam terdengar yakin bahkan sebelum Handoyo mendorong pintu papan berlubang di depannya. Handoyo melongokan kepala, kemudian membuka lebar pintu hingga muat badan.

”Kalau usahamu mau maju, taruh sesajen di bawah pohon asem pinggir sungai. Kembang tujuh rupa, kemenyan, kopi pahit.” Katanya kakek tua di atas dipan tanpa kasur. Bajunya seperti orang kebanyakan, hanya saja dia mengenakan caping yang menutupi wajahnya.

”Tapi, mbah…”

”Purnama kedua, bawa pisang raja setandan, ayam cemani hidup, dan bakar kemenyan. Saat bulan mati, bawa lagi ayam cemani, sembelih dan pastikan darah dari lehernya tumpah ke atas kembang tujuh rupa. Setelah itu, mandi pas tengah malam.”

”Iy-iya, Mbah…” Handoyo bahkan masih bergeming di depan pintu. Caping di kepala Ki Agung diperkirakan sudah berumur tahunan. Ujung-ujung bambu di pinggirnya sudah berantakan seperti serabut akar, warnanya sudah menghitam, mungkin karena terlalu seing kena terpaan matahari dan air hujan.

”Keluarkan semua uang yang ada di kantungmu dan taruh di depan pintu. Kalau usahamu sudah berhasil, kamu harus rutin menyembelih ayam dan membakar kemenyan minimal dua bulan sekali. Sekarang pergilah.”

Handoyo menurut. Uang lima puluh ribu di dompetnya diletakkan di depan kakinya, lalu dia mundur pelan-pelan untuk keluar. Bulu kuduknya meremang saat dia kembali menapaki tanah di depan rumah reot itu.

Handoyo mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Perintah-perintah Ki Agung dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Sedikit merasa bersalah karena nasihat-nasihatnya tentang agama di rumah, dia langgar sendiri. Kepepet, batinnya.

**

Suara kentongan samar terdengar. Biasanya pemuda-pemuda masjid tak sepagi itu membangunkan warga sahur, namun sepertinya Siti lah yang belum tidur sejak tadi.

”Kutukan apa?” Joko menolehkan wajahnya. Ada rasa heran tergambar di garis wajah kebapakannya. ”Kasih tahu aku apa yang seharusnya aku tahu.”

Siti menarik napas panjang. Kini giliran wajahnya yang menengadah menantang langit-langit rumah. ”Bapak pernah cerita. Dulu, ada kakek tua yang mendatangi beliau. Aku masih di dalam perut ibu, bapak lagi sukses-suksesnya menjadi suplier baju muslim.”

Siti terdiam sejenak sebelum memberitahu suaminya tentang kejadian itu. Ayahnya bercerita kalau dulu pernah mengusir kakek-kakek yang mengancam akan mengobrak-abrik dagangan. Dan entah kenapa, Si Kakek malah berbicara macam-macam.

”Oh ya? Bukannya aku berprasangka buruk, tapi semudah itu kah seseorang mengutuk orang lain?” Joko menarik selimut sampai menutupi perut. Pukul tiga pagi. Masjid di sekitar sudah mulai terdengar ada suara mengaji dari pengeras suara. Ramadan tahun ini, dia dan Siti belum juga dikaruniai anak setelah lima tahun menikah. Tapi Joko tak merasa ada yang kurang. Siti adalah wanita sempurna untuknya.

”Bapak bilang begitu. Mas-Masku juga sama, pun Ibu. Jadi entah karena kutukan itu, atau memang aku yang nggak bakat jadi pengusaha, sampai-sampai semua yang kita mulai nggak ada yang berhasil.”

”Uang kita sudah menipis, Ti. Furnitur di toko sudah mulai terlihat kusam, padahal awalnya aku yakin bakal laku.” Kenyataan selalu berbanding terbalik dengan ekspektasi awalnya. ”Nggak ada pemasukan sedikit pun.”

Siti tampak berpikir. Dia tidak ingin terus-terusan menyeret suaminya ke dalam ambisi pribadinya. Kalau memang jalan ini bukan rezekinya, maka dia akan berusaha lapang dada. ”Kita tutup saja toko mebel kita.”

Joko memandang Siti penuh tanya. Selama ini, Siti lah yang gigih memertahankan toko mebel satu-satunya yang mereka bangun dari nol.

”Kamu bisa coba melamar jadi guru. Aku akan mulai menjadi pengusaha, tapi dimulai dari hal-hal kecil,” ucap Siti mantap.

**

Mobil pick up hitam tampak penuh sesak oleh karung-karung berisi baju. Hari masih pagi buta. Dingin menusuk tulang, angin berembus lembut menyapu kulit.

Handoyo kembali mengencangkan tali tambang yang mengunci barang-barangnya dari goncangan. Kemeja kotak-kotak kesukaannya melekat manis, dengan celana bahan dan sandal kulitnya. Sang Istri memasukan rantang makanan di bangku depan. Perutnya membuat kaki harus berhati-hati, sepertinya kehamilan anak keempat ini sudah terasa sangat berat.

”Bapak pergi dulu ya, Bu. Mumpung belum macet.” Handoyo mengecup kening istrinya, lalu mengusap puncak kepala yang tertutup jilbab. ”Jaga anak-anak, aku paling cuma tiga hari.”

”Iya, Pak. Hati-hati. Bekalnya ada di depan, terus kalau udah sampai, telpon ke rumah, ya.”

Mobil berjalan perlahan di jalan sempit perkampungan. Handoyo mengantar sendiri barang-barang itu setiap kali pesanan datang. Sudah hampir dua tahun usahanya membuahkan hasil. Ekonomi keluarganya mulai terangkat, tabungan selama setahun bisa digunakan untuk kredit pick up, dan istrinya sudah tak perlu khawatir memikirkan biaya persalinan.

Dia harus cepat. Perkiraan dokter, anak keempatnya lahir di minggu-minggu ini. Melewati hutan, bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Langit masih belum sepenuhnya terang, di kanan dan kiri Handoyo hanya terlihat pohon-pohon besar dengan tanaman merambat yang terlihat seperti benteng perang.

Sebelum jalan berbelok keluar hutan, Handoyo menangkap sosok hitam di tengah jalan. Doa-doa dirapalnya dalam hati, pintu dia kunci, jantungnya berdetak lebih cepat. Saat mobil mendekat, ban depan seperti terjerembab ke dalam lumpur. Pedal gas diinjak dengan sekuat tenaga, namun tetap tanpa hasil.

Sosok itu mendekat. Tongkat di tangannya membantunya berjalan. Handoyo mengingat-ingat siapa laki-laki di bawa caping rusak yang kini berdiri memamdangi dari kaca samping.

”Kamu ingkar janji. Setelah kaya, kamu lupa kewajibanmu,” bisik laki-laki tua, yang anehnya tetap terdengar meski kaca mobil ditutup rapat. Sesaat kemudian, terdengar sabetan dari arah belakang. Tongkat laki-laki tua itu menghujam karung-karung baju sampai terkoyak.

Handoyo terperangah. Dia baru ingat, dia belum memberi sesajen nyaris setahun lamanya. Naluri manusianya membuat Handoyo menekan pedal gas, berniat kabur. Laki-laki tua itu tertinggal di belakang, lalu menghilang. Handoyo bernapas lega, kini mobilnya sudah keluar hutan.

”Anak perempuanmu akan sial,” suara itu terdengar lagi, kini lebih jelas.

Handoyo menengok ke bangku samping, dan jantungnya hampir berhenti melihat laki-laki tadi duduk tenang di sebelahnya.

”Dia tidak akan merasakan enaknya menjadi kaya. Usahanya akan terus gagal sampai dia gila.”

Handoyo tak mendengarkan ocehan laki-laki yang dua detik kemudian menghilang. Ketakutan dan keterkejutannya justru menyulut keberanian untuk terus menjalankan mobilnya. Terlebih lagi, dokter bilang anaknya laki-laki. Setelah lahir, dia janji tak akan ada anak lain.

Setelah lima jam menyetir, dia sampai di pasar grosiran besar di kota. Perasaannya masih campur aduk. Ponselnya berdering, wajahnya berseri-seri setelah berbicara sebentar dengan seseorang. Namun, air mukanya berubah pucat.

Istrinya sudah melahirkan, dan anaknya perempuan.

**

Subuh telah usai. Siti berpikir cepat. Diambilnya keranjang belanjaan di dapur, kemudian bersiap-siap pergi.

”Mau ke mana pagi-pagi begini?” tegur Joko. Dia sedang mencari-cari sesuatu yang pasti berhubungan dengan niatan melamar menjadi guru.

”Ke pasar, mumpung masih pagi. Aku mau nyoba usaha kecil, kali ini pasti berhasil.” Kaki siti melangkah yakin. Akan ada hal manis setelah ini. Harta dari orang tuanya sudah bukan haknya lagi setelah berkeluarga. Siti cukup bahagia hidup di rumah kontrakan dengan suaminya, meskipun belum ada anak.

Pukul sepuluh pagi, keranjang Siti sudah penuh bahan takjil yang niatnya akan dijual di pinggir jalan strategis di tempatnya. Belum ada yang menggunakan strategi ini, jadi Siti optimis akan berhasil.

Ba’da ashar, Siti sudah meletakan meja dan satu kursi di pertigaan. Kantung-kantung kolak, biji salak, berbagai gorengan, sampai lauk matang tertata rapi di meja. Cukup menarik perhatian, batinnya, sembari melihat orang-orang di sekeliling yang mulai mendekat.

”Mari, Bu. Lima ribuan kolaknya…”

Namun air muka pembeli-pembelinya berubah tak tertarik. Berubah 180 derajat. Ini cukup membuat Siti bertanya-tanya, sekelebat cerita tentang kutukan itu terbersit di otaknya.

Sampai menjelang buka, dagangan Siti masih utuh. Semangatnya nyaris lenyap sebelum ibu-ibu berkerudung merah jambu meminggirkan motor hitam mengilatnya.

”Mbak, aku ambil semua ya. Aku ada pengajian, tapi bener-bener nggak sempat cari makanan,” ujarnya, membuat Siti terperangah.

”Semuanya, Bu?”

”Iya, semuanya. Tolong dibungkusin, aku mau nyari sate dulu di depan.”

Siti nyaris menangis. Kutukan itu hanya mitos. Dia merasa berhasil mematahkan semua asumsinya selama ini. Bersama Joko, Siti membungkus semua dagangannya dengan kantung-kantung plastik. Selalu ada yang manis dalam kerja keras, pikirnya.

Lima menit setelah menjauh, Motor hitam mengilat itu oleng, lalu terguling di jalanan beraspal. Wanita berkerudung merah muda hanya melihat bayangan hitam bercaping rusak, berdiri membeku di tengah jalan. Kemudian terdengar suara tawa nyaring sebelum semuanya gelap.

-end-

Oleh: Ratna Rara

twitter: @_raraa

Diterbitkan oleh roysayur

Karena sayur begitu ngeRoy!!

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: