Para pemimpin baik duduk manis membentuk setengah lingkaran di atas panggung. Dengan santun mereka menjawab pertanyaan pembawa acara. Meriah, jenaka dan mudah dicerna. Semuanya menawarkan hal yang sama: “Ingin membawa semesta negeri agar lebih sejahtera”.
Itulah kesan acara mata najwa malam ini. Dengan bantuan mahasiswa UNS dan Torabika, pemirsa metroTV dipertontonkan diskusi untuk “menggugah inspirasi membangun negeri” dari 5 tokoh: Samad, Ganjar, Anies (bukan Matta), Jokowi dan JK.
Untunglah pembawa acaranya puan jelita yang dengan ciri khas seorang perempuan dapat merajuk para tamu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya biasa, mudah diduga namun tetap saja: berulang kali ingin kita dengar jawabannya.
“Apakah seorang Jokowi ingin menjadi Presiden?”
“Mengapa seorang akademisi ingin terjun langsung ke wilayah politik?” “Jika boleh memilih pasangan, ingin dengan siapa Anda dipasangkan?”
Bayangkan jika pertanyaan itu dilayangkan oleh seorang Alvitodinova, atau seorang Karni Ilyas. Pertanyaan hambar yang biasa-biasa saja, dari lelaki kepo kepada lelaki dengan naluri memimpin negeri tingkat tinggi. Namun malam ini serangkaian pertanyaan dilayangkan oleh Najwa, di hadapan ratusan mahasiswa. Pertanyaan nyeleneh pun akan dinetralkan oleh tawa hadirin dan narasumber akan “terpaksa” menjawabnya sesantai mungkin seolah-olah mereka adalah tamu yang baik. Mata Najwa on stage berhutang banyak pada mahasiswa untuk dukungan suasana. Namun lebih berhutang budi lagi kepada seorang Jokowi. Dia adalah bumi, pemilik gravitasi.
Najwa, agak berbeda dengan pembawa acara, jurnalis, reporter perempuan lainnya yang pernah saya jumpai. Sebenarnya saya pun hanya sekali bertemu dengannya, saat acara musikalisasi puisi Gus Mus di tahun 2005 atau 2006. Ia datang bersama ayah ibunya. Hadir bukan sebagai reporter melainkan sebagai tamu penikmat puisi. Menurut saya, Najwa muncul dan mewakili kaum keluarga intelektual yang keluar dari pojok perpustakaan dan tampil di depan kamera. Ia bukan keluarga politisi. Agak berbeda dengan klan Gus dur yang salah satu putrinya sekarang tak pernah absen tampil di halaman majalah Indonesia Tatler.
Najwa lahir jauh sebelum gelombang “nama-nama berbau timur tengah” mendominasi bursa nama bayi negeri ini. Najwa juga tidak terseret gelombang hijaber nusantara. Najwa tampil beda. Entahlah, apakah ia menyukai minumal beralkohol seperti rata-rata jurnalis wanita lainnya yang saya ketahui. Ia menjadi alternatif lain dari sekian banyak jurnalis televisi dalam mengedepankan sebuah isu. Dengan pertanyaan menohok, tajam, dengan senyum kaum hawa sehingga pertanyaan tersebut mau-tidak-mau akan ditanggapi oleh yang ditanya. Tentua saja, semua tanggapan tidak seluruhnya merupakan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Najwa cukup berhasil membangun suasana dengan menampilkan hadiah sepatu JK Collection untuk semua tamu kecuali Ketua KPK. Guyonan cerdas untuk menunjukkan betapa sulitnya menyikapi perihal gratifikasi. Untung saja Jokowi, lagi-lagi menampilkan kelebihan alamiahnya: Sepatunya diberikan kepada Samad. Meledaklah tawa hadirin.
Malam ini Najwa berhasil membuat saya menonton mata najwa dari awal hingga tuntas untuk pertama kalinya. Momen yang cukup tepat. Menampilkan para pemimpin yang “dianggap” bersih di awal tahun politik. Virus partisipasi dalam berpolitik bersih semoga semakin menyebar tanpa dibungkus balutan agama, janggut, alkitab, dan rentetan ayat-ayat.
Para tamu yang ditampilkan berkali-kali menyemangati para hadirin bahwa orang baik negeri ini jauh lebih banyak dari para pelaku korupsi. Menjadi baik saja tidak cukup, namun harus terus menerus berbuat baik.
Itu saja, sudah malam.
Jakarta, 1 Januari 2014.