Menjelang Perayaan Ulang Tahun Pengusaha Surjadi Bachri
Oleh: Wendy Fermana
“Jadi, kami tidak boleh sembahyang tarawih di masjid?” Siti tak kuasa menahan pertanyaannya, sehingga memotong cerita Utik.
Cerita itu tentang Pengusaha Surjadi Bachri yang berencana merayakan ulang tahun keenam puluh. Maka aku kembali teringat ke asal-mula ceritanya:
“Pokoknya saya dengar dia minta semua yang nomor satu hadir di sana. Tenda, undangan, makanan, souvenir, semua ambil nomor satu.”
Di pekarangan belakang rumah Hajah Fatma, kami mendengar Utik bercerita tentang rencana perayaan besar-besaran itu. Tuturan langsung dari si keponakan Pengusaha Surjadi Bachri, membuat beberapa dari kami beralih perhatian dari kegiatan masak-memasak; aku menghentikan memotong kubis, Wak Mirah memperlambat adukan kuah sop, Siti lupa kalau ia sedang mengulek cabe dan dengan santai mengusap matanya, tentulah ia kepedihan; dan yang lain meskipun tidak menghentikan kegiatannya secara tiba-tiba, tampak pula memasang telinga dengan penuh perhatian.
“Acaranya Jumat depan, dari menjelang Maghrib sampai Isya. Jadi buka bersama begitu.”
Wak Mirah menyela, “Katanya cuma buka puasa, kok sampai Isya?”
“Bahkan kalau bisa sampai Dhuha besok, Wak. Pagi harinya akan foto keluarga besar,” seru Utik.
Kami mengangguk-angguk. Wak Mirah bertanya lagi, “Kami ni diundang dak, Tik?”
Utik menciduk air dan mencuci wortel. “Aku tidak tahu pasti, Wak, tapi kalau tak salah dengar, orang sini dipilih-pilih saja.”
Aku tercenung, dipilih-pilih?
Saat itulah Siti angkat suara, dan dibalas Utik dengan kalimat, “Bukan tidak boleh sembahyang tarawih, tapi hari itu tidak bisa di masjid itu.”
Tidak boleh, tidak bisa sembahyang tarawih?
“Ya, sudah kita ke mesjid lain.”
***
Semua kabar itu masih sekadar dengar-dengar. Utik yang juga keponakan Pengusaha Surjadi Bachri juga baru dengar-dengar. Meskipun mengaku begitu aku percaya saja, sebab pada akhir cerita ia bilang tahu semua kisah ini dari Ibunya. Bagiku orang tua perlu, dan lebih baik dipercaya.
Cerita itu memutar lagi di kepalaku:
“Perayaan itu sekaligus reuni teman kuliah Om Surjadi, sembari pesta dengan rekanan bisnisnya.”
Pantas saja kalau kami tak diundang. Tapi masih ada kemungkinan kalau termasuk daftar yang diundang? Daftar orang yang dipilih-pilih itu?
Cerita itu terputus, karena ketukan di pintu. Murni datang membawa tabung gas. Setelah menukarkan tabung itu dengan yang berisi, aku dan Murni malah bertukar obrolan di teras rumah. Mulanya ngobrol mengenai harga sembako yang terus naik menjelang lebaran. Bercerita tentang jumlah tadarus Alquran masing-masing. Dan beralih pada cerita perayaan itu.
Sebenarnya semua ini tidaklah penting, dibandingkan melakukan ibadah lain, malahan mungkin saja obrolan kami menjadi dosa karena membicarakan orang lain, tapi semua ini layak diralat menjadi hal penting karena membawa-bawa perayaan yang mengganggu peribadatan solat.
“Jadi benar tidak bisa solat tarawih?” tanya Murni.
“Pas solat tarawih kemarin tidak ada pengumuman undangan ke warga. Bakda solat Jumat tadi juga tidak ada pengumuman itu.”
“Tendanya sudah dipasang.”
“Bagus?” aku ingin tahu.
“Seperti mau mengantenkan.”
Mewah benar berarti.
“Catering-nya juga sudah datang.”
“Bukan Wak Mirah yang masak ya?”
Murni menggeleng. “Padahal masakannya tidak kalah lezat ya.”
“Kudengar beliau minta yang nomor satu semua.”
“Memang Wak Mirah nomor berapa?”
“Tidak tahulah aku, Mur. Nomor-nomoran, aku kurang paham. Selera pengusaha kan beda. Seleranya tinggi.”
“Jadi benaran tidak ada yang mengundang?” Murni menegaskan lagi.
“Kau tanya terus, Mur, aku tidak bohong, tidak ada undangan. Hmm, apa jangan-jangan kau diundang, Mur?” tuduhku, penasaran.
“Tidak diundang juga. Cuma penasaran saja. Ibu-ibu pengajian tidak ada yang diundang ya.”
“Ustazah Nur tidak mungkin tidak diundang.”
“Mungkin ya, tapi kita tidak tahu.”
Aku mengingat pembangunan mesjid itu. Di lorong ini dulu tidak ada rumah tempat solat itu. Baru tiga tahun lalu, seorang pengusaha kaya, Surjadi Bachri yang juga pernah dibesarkan di daerah ini, kembali setelah kesuksesannya. Ia merobohkan rumah tua tempatnya tinggal dulu dan menimbunnya dengan tanah merah. Terbentanglah tanah lapang menggantikan rawa-rawa yang merendam bangunan rumah tinggal, tempat para pencari belut dulu menaruh bubu. Lenyap pula ketakutan kami akan rawa sarang belut, ular, dan nyamuk serta berhantu tersebut.
Mesjid itu kami kira akan dibangun dengan swadaya. Tahu-tahu semua bahan konstruksi dan alat berat sudah tersedia. Dibangunlah mesjid megah itu dengan arsitektur minimalis, berkubah besar semacam mangkuk tengkurap. Dindingnya dikapur putih dan abu-abu, warna-warna yang sederhana, tapi membuatnya jadi sangat indah.
Cerita dalam kepalaku berakhir, saat Murni pamit pulang. “Keenakan ngobrol jadi kelupaan, padahal mau masak untuk buka puasa.”
Aku sendiri lagi, seharusnya bisa dilanjutkan untuk menambah bacaan Alquran, karena aku sudah beres memasak. Tapi aku lebih senang leyeh-leyeh di tikar depan televisi. Semakin gelap mataku terbayang-bayang suamiku yang semalam membacakan kertas susunan kepanitiaan Perayaan 60 Tahun Surjadi Bachri.
“Tidak tahu juga aku, Dik, kata Pak Ketua Mesjid pesan Pak Surjadi dipilih saja. Dengar-dengar bakal banyak rekanan bisnisnya yang diundang.”
Dengar-dengar lagi? Sungguh banyak yang senang mendengar-dengar, termasuk aku ini.
Suamiku muncul dari kamar mengenakan baju takwa warna krem.
“Aku solat Ashar, dan buka di mesjid ya. Tapi sebelum Ashar ini aku sudah bantu-bantu di sana.”
“Ya.”
“Kalau mau solat tarawih di mesjid, rasanya tak masalah.”
Tapi, aku dan yang lain, setidaknya yang sempat ngobrol-ngobrol tentang perayaan ini sepakat untuk solat di mesjid lain dulu. Kecuali Murni yang ngotot, “Masa solat saja tidak boleh. Aku cuma mau numpang solat saja kok, tidak mau minta makanannya.”
Aku tak acuh, dan mengiyakan, tapi tetap akan pindah mesjid dulu, toh sebenarnya sama saja.
Sebentar sebelum ia pergi, aku cerita dengan suamiku.
“Nah, itulah kalau bulan puasa baru sibuk-sibuk mau solat di mesjid, selama ini ke mana saja.”
Ia ngeloyor pergi, sebelum aku sempat menjawab, tapi tidak tahu pula aku harus menjawab seperti apa semestinya. Meski menyakitkan hati, yang dikatakannya benar.
Aku menggerundel. Lantas tersadar, puasaku ini bisa jadi sia-sia belaka, hanya dapat lapar dan haus saja. Aku menyesal, kemudian buru-buru ke pancuran, mengambil wudhu, daripada membicarakan orang lain, lebih baik aku membaca Alquran.
***
Menjelang Ashar langit mendadak gelap. Tak menunggu lama, air mulai menitik, dan terus menderas. Bulan puasa di musim tak tentu cuaca ini, memang mengharukan, hujan dan panas datang bergantian tak tentu waktu. Untungnya jemuranku sudah kering. Terdengar sayup suara azan Ashar.
Cuaca sungguh tidak bersahabat. Aku teringat dengan perayaan ulang tahun Pak Surjadi Bachri di mesjid. Apakah ramai, meski hujan begini? Kasihan juga kalau sepi. Sebesar-besar hajatan kalau sedikit tamunya, tidak menarik juga. Tetapi, bukankah tamunya rekan pengusaha semua, pastilah tak masalah untuk datang, tinggal naik mobil bisa sampai.
Menjelang Maghrib hujan tak kunjung reda. Air menggenang di halaman, di jalan, dan membungkus kampung ini dengan begitu rapat. Aku dan dua anakku memecah puasa dengan kurma dan segelas teh manis.
Jalanan depan rumah terendam banjir, hujan juga masih menetes. Aku jadi malas solat tarawih. Sungguh banyak sekali alasan, tapi kakiku ngilu benar kena air, apalagi jalanan gelap. Lampu penerang jalan mati. Dan banjir begini jalanan berserak air dan lumpur, kalau tak hati-hati aku bisa terpeleset lagi seperti dua bulan lalu, dan terbaring di tempat tidur hampir sepekan lamanya.
Suamiku pulang lepas tarawih dengan wajah kelelahan. Waktu beranjak tidur, kami ngobrol sebentar. Aku bertanya, tentang keramaian tamu tadi. Dia mendesah, “Kasihan sekali.”
Sedih juga aku mendengar ceritanya. Undangan yang disebar jauh-jauh, karena mungkin cuaca, membuat lebih banyak orang tidak datang. Undangan yang dekat-dekat, ya paling cuma sepuluh rumah di kanan-kiri mesjid saja yang datang. Mesjid saat itu lenggang sekali. Menjelang buka puasa itu, di dalam mesjid yang dikepung dingin hujan dengan kipas angin menyala, Pengusaha Surjadi Bachri terus berkipas-kipasan dengan karton air mineral, sambil duduk lemas menyandar di tembok menanti tamu-tamu datang.
Palembang, 19 Juli 2013
Wendy Fermana, lahir di Palembang, 10 November 1994. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sriwijaya. Cerita pendek dan puisinya dipublikasikan di majalah Horison sisipan Kakilangit, harian Sumatera Ekspres, dan harian Berita Pagi serta beberapa bunga rampai.