Hari Raya Penjala
Cerpen: Teguh Afandi
Cerita ini dimulai dari secarik kabar yang masyhur di Soronini. Kisah ini terulang setiap tahun, di akhir bulan puasa, di anak perantauan berarak pulang kampung. Masa-masa di mana uang mudah sekali keluar seperti keringat di siang hari, untuk menu berbuka, pakaian baru hari raya, jajanan penghias meja, dan uang saku ke ponakan-ponakan kecil yang seperti tidak pernah habis. Masa panen tidak selalu berpihak pada petani Soronini. Lelaki dewasa yang lelah melengkung di sawah, hampir-hampir putus asa menyaksikan pengeluaran yang membanjir. Jadilah apa pun akan dikerjakan. Lihatlah, Gunung Manggir yang menjulang. Kelokan air yang tidak jernih, dan hamparan sawah. Indah. Tidak ada letupan senyum pada hijau lahannya. Desa kecil di pojokan Kota Kecamatan Todanan, Blora, Jawa Tengah itu tidak banyak berubah.
Belik, mata air paling bening di Soronini, akan dipenuhi ikan yang seolah-olah tidak akan pernah habis dimakan ratusan orang. Ikan itu datang dari jagat kasat mata yang tidak bisa didefinisikan. Besar-besar. Gemuk-gemuk. Dan nampak segar. Belik, dengan ukuran dua kali dua meter, seperti kolam yang sesak ikan. Masa panen ikan! Tak bisa lagi dibendung, para petani berubah menjadi penjala ikan di akhir ramadhan. (Seharusnya di akhir ramadhan mengejar malam seribu bulan).
Dahulu Belik hanya sendang biasa, tempat para wanita mencuci badan dan mengumbah pakaian di setiap petang, usai seharian membungkuk di sawah. Lalu bagaimana bisa berubah menjadi kolam ikan setiap tahun?
Ini ada kaitannya dengan Syeh Jangkung (sering disebut Saridin) yang pernah mampir di Soronini puluhan tahun silam. Saridin menghela napas, lelah melakukan perjalanan kaki dari Kudus menuju Kajen, Pati. Saridin murid kesayangan Sunan Kudus, memiliki kesaktian dan mukjizat seorang kekasih Tuhan. Dia diusir dari padepokan karena berulah kurang sopan. Saridin muncul dari lubang kakus, ketika putri kesayangan Sunan sedang buang hajat. Lalu memainkan bunga kantil di bawah putri sunan yang jongkok. Sunan Kudus berang. Kanjeng Sunan Kudus mengusirnya pulang.
Dalam perjalanan itulah, Saridin singgah dan melihat warga Soronini yang masih abangan. Menyembah pohon beringin, mendirikan punden, melakukan sesajen, dan belum familiar dengan Tuhan. Tuhan tidak ada masuk dalam benak orang-orang Soronini. Nenek buyut kami (pun sebagian besar dari kami) masih abangan.
Saridin bermalam di Soronini, hendak mendakwahkan agama islam. Tidak disebut Saridin, kalau dia tidak menampilkan kemukjizatan pada nenek buyut kami yang awam dan abangan. Memamerkan mukjizat, agar lebih dekat ke nenek buyut kami. Saridin memberi pengumuman, memberi tantangan kepada para lelaki. Saridin menghendaki para lelaki menemukan seekor ikan saja dari Belik (meski tidak banyak, tetapi menangkap ikan di Belik sangatlah mudah dilakukan). Siapa saja yang bisa menghadiahi Saridin seekor saja, langsung diberi sekantung logam emasnya. Siapa yang tidak tergiur?
Ratusan orang berlomba. Bermalam-malam mencari ikan apa saja di Belik, yang di hari biasa beberapa terlihat berenang. Hampir sepekan tidak ada satu pun yang bisa pulang dengan tentengan seekor ikan.
“Bagaimana bisa?” Saridin berdiri di tengah kerumunan orang.
“Nihil.”
Saridin terkekeh, jenggotnya yang sedada diterpa angin. Kemudian disusul pakaian yang menjuntai di belakang tangan. Hampir terjatuh dari tongkatnya.
“Itu hakikat Tuhan. Kalian tidak bisa melihat, tetapi ada. Kalian tidak bisa memegang, tetapi ada. Tidak nampak zat-Nya, tetapi yang punya kehendak. Tuhan yang menciptakan kalian!”
Saridin memukul telak nenek buyut kami. Tersadar. Saridin dipuja sebagai wali. Lalu orang-orang Soronini berlomba belajar mengaji, meramaikan musola, mendatangi ceramah-ceramah Saridin. Sebagai hadiahnya, Saridin kembali memberi sebuah keajaiban. Dihentakkan sekali tongkatnya, lalu Saridin mengucap doa. Maka Soronini menjadi desa dengan tanah subur, pengairan lancar, rumah-rumah di labur kapur, dan Belik itu menjadi lahan ikan yang tidak pernah habis.
Orang Soronini tetaplah orang abangan kentel, mendekat Tuhan bukan karena cinta tetapi hanya karena butuh. Ketika butuhnya penuh, lupa pada Tuhan. Setelah semua perut kenyang, lupalah mereka kepada siapa yang memberikannya. Di setiap pengajian Saridin, kosong. Dengan berbagai alasan, mereka selalu mangkir. Menggarap sawah, mengurus ladang, masa panen, menjala wader. Saridin menyindir lewat senandung,
Padang padang bulan, rembulane tanggal papat.Yeng kowe ngaku iman, ojo kelalen salat.(Cahaya bulan tanggal empat. Kalau mengaku iman, jangan lupa salat)
Enake jadi petani, salate nomor siji. Opo meneh yen masa panen, salate ora kelalen. (Enak jadi petani, salat nomor satu. Terlebih masa panen, salat tidak lupa.)
Tidak ada yang paham sindiran. Saridin marah.
“Kalian! Belik ini akan kering. Belik ini akan asat. Wader akan minggat. Datanglah ketika bulan puasa. Ini ujian kalian, mana yang kalian pilih terus menjala atau bersama-sama membaguskan ibadah!”
Hingga sekarang orang-orang Soronini selalu dipojokkan akan pilihan akut. Mengikuti nafsu untuk menjala ikan di hari-hari terakhir puasa atau ikut rombongan menjadi abdi Tuhan terbaik. Kemarahan Saridin terus mengalir bersama mata air Belik yang tidak pernah kering sepanjang tahun.
Ikan hanya keluar di sepuluh hari terakhir ramadhan. Mereka seperti mengejek para lelaki Soronini, “ayo mana yang kamu pilih? Menangkapku atau bermunajat dan iktikaf di masjid. Kalau kalian tidak menangkapku, kalian harus menungguku hingga tahun depan. Itupun kalau usiamu masih ada. Kalau tidak, tentu kesempatan langka ini akan lenyap. Benar! ikut saja iktikaf di masjid. Tetapi, tubuhku gemuk. Kalau dijual di pasar pasti mahal. Kalian akan lebaran dengan uang banyak….”
***
Beberapa melakukan taktik: memasang jala sebelum masa ikan datang. Berharap ikan gemuk-gemuk akan tertangkap dan mendekam di jala hingga salat id usai. Tetapi trik itu gagal.
“Jangan menjadi seperti kaum Yahudi. Dilarang memancing ikan di hari sabat, justru memasang jala di hari jumat dan mengumpulkan ikan di hari ahad. Kalian celaka. Tuhan kalian khianati. Rejeki pasti diatur,” begitu Ustad Muhtarom mengingatkan.
Tetapi lebih banyak adalah mereka yang berusaha mencuri-curi waktu malam genap untuk menangkap ikan. Dengan dalih bahwa di malam ganjil, malam paling mustajad untuk menderas doa semalaman. Beberapa berhasil. Tetapi sindiran Ustad Muhtarom seperti keris yang mengiris hati.
“Lailatul Qadar adalah rahasia Allah. Tidak bisa dipastikan kapan datangnya. Hanya orang jahil, orang bodoh, yang memilah-milah waktu untuk bertaubat,” lalu disambung dengan hadis yang mengatakan ada segolongan yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga.
Sebagaimana manusia, orang-orang Soronini tetaplah lemah akan godaan dunia. Ikan keluar bak daun-daun beringin yang berguguran diterpa angin. Malam-malam usai tawarin di sepuluh hari terakhir ramadhan, akan banyak lelaki dengan senter di kepala dan jaring ikan menuju belik. Dari kejauhan seperti rombongan kunang-kunang di gelap malam. Mereka berombongan. Lalu secara ramai-ramai menyerokkan jala ke Belik dan menuang wader yang gemuk-gemuk ke ember. Tak hendak serakah, ketika ember penuh maka pulanglah mereka. Terus-terusan hingga malam takbiran itu tiba. Padahal Ustad Muhtarom terus saja mengabarkan manfaat bermunajat di masjid selama sepuluh hari terakhir. Angin lalu. Urusan perut dan uang lebih menggiurkan.
Di paginya akan beramai-ramai orang ke pasar untuk menjual ikan. Sekilo sepuluh ribu. Tetapi dari uang itu mereka tidak akan pernah kaya. Tidak akan bisa mereka mengambil banyak harta darinya. Selalu saja habis untuk urusan meja makan. Besok kembali menjala di Belik. Melupakan iktikaf. Melupakan munajat. Melupakan nasihat-nasihat Ustad Muhtarom. Lupa kemarahan Saridin. Dan yang lebih berbahaya lupa hitungan ramadhan hingga tiba-tiba malam takbiran datang.
“Lah sudah takbiran malam ini?” kata seorang penjala wader yang masih berkutat di Belik.
“Cepat sekali. Besok ikan-ikan ini sudah hilang,” balas yang lain.
“Ayo lekas. Sebelum fajar turun. Dan ikan akan menghilang.”
Mereka seperti kesetanan menyerok ikan. Terus-terusan tanpa henti. Kelam menghilang. Kini fajar merekah dari timur. Mereka didahului kokok ayam dan azan subuh. Bahkan beberapa masih sibuk di Belik ketika azan salat Id sudah bersahutan.
“Semoga kita tidak termasuk seperti penjala ikan, yang lupa diri. Berkutat dunia, tanpa merasakan kenikmatan ramadhan. Mungkin bagi penjala ikan, tidak akan ada hari raya.” Demikian khutbah Ustad Muhtarom.
Sindiran itu tidak dirasakan. Tidak dihiraukan. Atau memang para penjala wader tidak hadir di masjid.
***
Seperti yang kusebut di awal. Kisah ini akan terus berulang setiap ramadhan. Masjid sepi ketika sepuluh hari terakhir. Maka datanglah ke Soronini, ketika kalian hendak mendapatkan nuansa iktikaf di ramadhan yang tenang. Serasa dekat dengan Tuhan. Dekat dengan ampunan. Tetapi, jangan heran. Ketika pagi kalian akan terganggu oleh aroma amis wader. Itulah kebiasaan kami. (*)
2013 M-1434 H
Teguh Afandi, masih menuntut ilmu di Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lebaran ini mudik di kampung halamannya, Soronini, Blora, Jawa Tengah. Cerpennya pernah dimuat di Media Indonesia, Suara Merdeka, Republika, Suara Pembaruan, Tribun Jabbar, Femina, Sekar, Nova, Cempaka, Padang Ekspres, Merapi, Minggu Pagi, Radar Surabaya, dll.