Doa dalam Sekotak Donat

oleh: Arief Sunarya

Ritual tahunan harus ia lalui lagi. Sebuah putaran siklus yang sama. Tak ada yang berubah, kecuali titipan khusus emaknya

Bau keringat, asap rokok, sendawa dan kentut bergulung-gulung bersenyawa di udara kabin bus P.O. Larasati jurusan Purwokerto. Bus kelas ekonomi itu sudah sesak dan pengap namun tak jua beranjak. Kantuk berkali-kali membenturkan kepala Sugeng ke kaca jendela. Badannya kuyup dan sumuk[1]. Ia melirik jam tangannya…astagfirullah sudah lebih dari satu jam ia mandi sauna. Pengasong minuman terus menggoda kesabaran dan kerongkongan keringnya yang sedang berpuasa dengan botol air yang bening dan berembun. “Air…air…buat persiapan di jalan,” tawar mereka sambil menyorongkan botol hanya sejengkal dari mulut. Ide untuk membatalkan puasa pun mulai menggoda kesabarannya, toh bukankah ia sekarang berada dalam posisi seorang musafir? Yang berhak menerima dispensasi? Batinnya terus bergulat dan mencari pijakan pembenaran sebelum dikagetkan oleh pekikan sumbang seorang pengamen berkaos Chairil Anwar ngudud.

22-desen-valeriu-mladin-donat-de-artmark-imdd-1341524088_b

“Salam seni! salam damai! izinkan saya membacakan sepotong puisi tentang penderitaan,” teriaknya berapi-api bak seorang aktivis berorasi di depan barisan demonstran.

“Eh alaa, ketinggalan kalee…seisi bus ini sudah dari tadi melantunkan puisi penderitaan secara berjamah,” sungut Sugeng kesal.

Babak demi babak drama di dalam bus terus berganti—yang selalu sama tiap tahun—namun sesi keberangkatan tetap jadi misteri. Sedang rasa haus dan lapar semakin memobilisasi nafsunya membatalkan puasa. Untuk mengalihkan perhatian, Sugeng membenamkan earphone ke kedua kupingnya. “Ribuan kilo jarak yang kau tempuh….lewati rintang untuk aku anakmuibuku sayang masih terus berjalanwalau tapak kaki penuh darahpenuh nanah…” sebuah lagu Iwan Fals menuntun matanya pada sebuah bungkusan di pangkuan—sekotak donat pesanan emak.

Le, kalo nanti pulang, tolong beliin emak donat Amerika itu ya.” Begitu emak menamakan donat kesukaannya. Entah kenapa lidahnya begitu kesemsem dengan donat ini. Dulu, ketika plesiran ke Jakarta Fair sekeluarga, bapak membelikan mereka sekotak American Donat—satu-satunya donat yang ada saat itu. Dari situ cinta emak tertancap. Meski Sugeng pernah membawakannya rupa-rupa donat lain yang sedang in di Jakarta, emak bergeming. Ia tak bisa ke lain hati.

“Mas..Mas..pindah!” bahunya diguncang seorang bapak yang duduk di sebelahnya.

Terperanjat dari tidurnya Sugeng menerawang ke sekeliling. Di dalam bus sedang terjadi chaos, sebagian penumpang sibuk mengemasi barang-barang, sebagian lain sudah bablas berhamburan.

“Busnya mogok, tolong pindah ke bus sebelah sana!” Teriak seorang kondektur sambil menunjuk ke arah deretan bus P.O. Larasati lainnya. Tangannya mengibas-ngibas seperti menghalau sekawanan kambing.

Samber gledek! sekian lama menunggu bukannya berangkat, malah dibedol ke bus lain. Seratus sumpah serapah Sugeng hanya menyublim di udara. Lenyap tak berbekas. Tak merubah apa-apa. Dengan terhuyung ia segera bangkit dan mengemasi barang-barangnya. Ingin rasanya mendamprat habis si kondektur. Tapi raut mukanya yang tua dan lusuh membuat Sugeng iba. Entah kenapa tiba-tiba ia ingat mendiang bapaknya. Seperti dirinya, bapaknya pernah mengadu nasib ke Jakarta, bekerja serabutan sebelumnya akhirnya menjadi kondektur PPD. Rasanya baru kemarin seorang bocah berharap-harap cemas menunggu oleh-oleh dari bapaknya yang akan pulang menjelang lebaran.

“Ini dibelikan bapakku dari Jakarta,” kata ‘Sugeng kecil’ dengan bangga di depan teman-temannya.

Hanya sebuah mobil-mobilan murah dari Pasar Gembrong, tapi tak satupun anak-anak di kampungnya yang punya.Waktu memang tak kenal ampun, menggerus setiap orang yang lengah dengan hidupnya kemudian hanya menyisakan remah-remah. Sugeng mungkin salah satunya. Kombinasi antara kelengahan dan ketakberdayaan membuat dia terperangkap dalam pengulangan waktu yang sama. Seperti bapaknya, ia kini harus berjibaku di ibu kota sebagai pekerja kelas bawah. Ah, sudahlah tak ada waktu untuk melo, kehidupan masa silam takkan pernah bisa berbagi dengan masa kini. Ia memupus lamunan. Sekarang tantangan menunggu di depan: berebut bangku dan posisi nyaman.

Alhamdulillah, Gusti Allah masih menyisakan satu bangku untuknya. Sugeng menghenyakkan badannya ke sederet bangku yang tersisa, persis di belakang sopir dengan helaan nafas panjang. Salah satu posisi favoritnya karena matanya bisa leluasa menatap setiap lekuk jalanan. Sayang tulisan besar—biasanya merupakan jargon si sopir bus—IWAK PEYEK berwarna kuning keemasan di kaca depan mengganggu pandangan. Tak berapa lama roda bus mulai melata ke luar terminal Kampung Rambutan menjalani rute perjalanan pulang.

Bleduk! Duar! bukan ban bus yang pecah. Tapi Jantung Sugeng serasa mleduk karena sadar ada sesuatu yang kurang. Donat emak ketinggalan! Gusti Allah! kiamat ini. Tasnya masih ada di pangkuan tapi donatnya lenyap. Meski gelisah becampur gusar ia mencoba mengingat-ingat di mana donat itu tertinggal. Hmmm…rasanya hampir pasti tertinggal di bangku bus mogok sialan itu ketika ia buru-buru turun. Pilihannya sekarang cuma dua: meneruskan perjalanan atau kembali ke terminal. Kalo kembali, apa iya donat itu masih ada di sana?  hari gini barang di depan mata pun bisa lenyap dalam hitungan detik. Apalagi ia telah keluar setengah jam lebih dari terminal. Timbang menimbang ditimbang-timbang. Tidak, ia harus melanjutkan perjalanan pikirnya hampir bulat. Ia terlalu lelah untuk kembali dan harus mengulang semua dari awal. Mungkin belum rezeki emak bisa makan donat hari ini, benaknya mencari pembenaran. Namun sepotong wajah emak yang sedang tersenyum lebar melihat donat kesukaannya tiba-tiba terpampang di pelupuk mata. Sebuah momen mahal dan langka. Emaklah satu-satunya yang ia miliki sekarang, yang membawanya untuk selalu pulang. Ayahnya dan saudara semata wayangnya telah lebih dulu berpulang. Logika dan nalurinya beradu. Meski tersudut, perasaannya menang. Dengan membisikkan bismillah serta laa haula walaa quwwata Sugeng memutuskan kembali ke terminal, menapaki lagi takdir barunya.

Setibanya kembali di terminal, ia langsung berlari menghampiri bus mogok itu dan  melompat naik. Matanya mulai menyapu semua bangku dari belakang hingga ke depan. Ia telisik semuanya dari bawah hingga ke atas berulang-ulang. Nihil. Kondektur dan sopir yang ia tanya mengaku tak melihat apa-apa. Sia-sia sudah semua usahanya. Mestinya ia tetap di bus meneruskan perjalanan. Ia memaki-maki dirinya sendiri yang tak pintar berhitung. Logikanya benar. Tak perlu menjadi seorang jenius untuk bisa menebak bungkusan donatnya sudah lewat di rimba terminal. Omong kosong dengan perasaan. Dengan gontai ia melangkah ke luar dan segera mencari bus jurusan Purwokerto berikutnya sambil tak henti mengutuki dirinya.

Kembali, ia harus memulai semuanya dari awal dan terperangkap dalam penantian. Kesal dan sesal terus bergaung di kepalanya sampai bus perlahan bergerak meninggalkan terminal. Pintu tol Karawang Barat adalah tulisan terakhir yang ia lihat sebelum terkulai pulas di kaca jendela. Dentuman musik tarling pantura yang dipasang sopir perlahan senyap. Di antara alunan deru mesin dan antukan lubang di jalan, dua kali sudah ia dikunjungi mimpi yang sama. Ia melihat senyum lembut emaknya sambil berkata, ”Le, weruh awakmu mulih utuh wae biyungmu iki lego atine[2].”

Byaarr! terus hilang begitu aja. Kata orang tua dulu, mimpi yang berulang adalah sebuah pertanda. Petaka atau anugerah tergantung dari rotasi hukum sebab akibat—apa yang kita perbuat.

Semburat cahaya kemerahan tanda hari beranjak maghrib membias di kaca. Dari seluruh rangkaian ritual perjalanan pulang, inilah bagian yang paling ia suka. Ketika hembusan angin yang menerobos kaca jendela menepuk-nepuk wajahnya, dan panorama hamparan sawah serta deretan rumah berkelebat menerbangkan angan dan pikiran sesukanya. Sebuah billboard rumah makan bertuliskan Sukamandi melintas cepat. Tak terasa bus sudah memasuki wilayah Pantai Utara. Sebentar lagi ular kemacetan akan menghadang—masalah endemik setiap tahun. Bus mulai merayap pelan memberi kesempatan pedagang asongan melompat naik menjajakan minuman dan makanan. Biasanya melalui pedagang asongan informasi seputar kemacetan bisa disadap.

“Air…air…buat buka puasa,” Teriak seorang pengasong sambil melompat masuk.

“Macet panjang ada kecelakaan di depan,” Sambung pengasong lainnya.

“Tabrakan?” Tanya Sugeng sambil membeli sebotol minuman untuk membatalkan.

“Iya, bus sama truk kontainer.”

“Parah?”

“Katanya yang mati banyak.”

Sugeng sudah tak berselera bertanya lagi. Bus yang ia tumpangi sekarang sudah tak merayap lagi namun berhenti. Macet total. Berkilo-kilo mengular. Ah, coba saja ia tak memaksa kembali ke terminal. Pastilah ia sekarang sudah selonjoran di depan televisi sembari menyeruput secangkir kopi. Ia mulai mengungkit-ungkit kembali. Arlojinya sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika busnya mulai merayap, bergerak mendekati simpul kemacetan. Tanpa ada yang mengomandoi, para penumpang berebut melongokkan kepala mereka ke luar karena ingin melihat kejadian. Didorong rasa penasaran, Sugeng pun spontan mengikuti. Sirine mobil polisi masih meraung-raung di sekitar TKP. Putaran lampunya berkelebat-kelebat merah memantul di wajahnya. Tampak puluhan orang bergerombol menonton sebuah bus terkapar di pinggir jalan dengan kondisi mengenaskan. Pengasong minuman tadi tidak mengada-ada. Ini sebuah tabrakan maut. Bau kematian menebar dan tercium pekat. Seperempat badan bus hancur seperti disobek gunting raksasa. Gumam ngeri para penumpang berdengung seperti lebah.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” bersahutan mereka mengirim doa.

Nama bus naas itu masih terbaca jelas kendati sudah penyok-penyok dan penuh guratan basah darah. PO LARASATI. Sugeng terperanjat. Jantungnya berdetak kencang. Sebuah tulisan carut marut keemasan—di atas sebongkah sisa kaca depan bus yang masih menggantung—terbaca olehnya: IWAK PEYEK!. Sugeng terkulai lemas. Matanya menerawang kosong. Rupanya sang maut berencana menjemputnya hari ini, tapi sekotak donat emak telah berniaga dengannya •

Jakarta, 24 Juli 2013.


[1] Gerah

[2] Nak, melihat kamu pulang selamat saja ibu sudah senang

Diterbitkan oleh roysayur

Karena sayur begitu ngeRoy!!

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: