Ana’ Riabbeang
Oleh : Tenri S. Wahid
Bulan suci ramadhan selalu berhasil membuat rindu kampung halaman terutama bagi para passompe1. Apa lagi bagi seseorang yang memang tak pernah rela meninggalkan tempat kelahirannya. Begitulah yang dirasakan Salija, perempuan bugis yang telah tujuh belas tahun riabbeang2. Kerinduannya tak pernah surut, rindu yang tiap hari melubangi hatinya dan menyisakan pilu tak terhingga. Pilu yang kebal dilindas waktu, tak pernah lengah menyiksa Salija. Hatinya telah pasrah pada sakit, kepasrahan yang berwujud pada sebuah penerimaan yang mampu membuatnya tetap bertahan hidup.
Kematian kerabat dekat almarhum suaminya kini membawanya pulang. Keluarga adalah salah satu peninggalan suaminya yang sangat berharga. Keluarga suaminya telah ia anggap sebagai keluarganya sendiri meski suaminya telah meninggal. Seorang diri, Salija menaiki angkutan umum menuju kampung halaman yang telah lama dirindukannya.
Mobil membelok memasuki daerah yang jalanannya tidak begitu mulus. Jalanan berkerikil tajam dan beberapa lubang yang menyebabkan kendaraan yang melewatinya harus pelan-pelan. Para penumpangpun mesti sabar karena guncangan dalam mobil yang membuat kepala mereka saling terantuk satu sama lain. Guncangan-guncangan kecil malah membuat Salija tersenyum tipis, dalam hati ia berkata “selamat datang kampungku”.
Salija menyetop mobil yang membawanya, kemudian ia turun membawa tas pakaian yang berukuran kecil kemudian memberikan beberapa lembar uang kepada sopir kendaraan. Rumah kerabat suaminya telah dipenuhi beberapa orang yang sedang turut melayat. Orang-oarang itu tak ada yang menyadari kedatangannya, hingga seorang pemuda menghampirinya.
“Puang3, saya Darmawan. Anureta4’ semoga kita ingat ji” sapa pemuda itu ramah. Salija menepuk bahu Darmawan, senyumnya mengembang. Tak menyangka keponakannya itu masih mengenalinya. Darmawan membawakan tas puangnya kemudian mempersilahkan Salija masuk.
Kini Salija berada diantara para wanita seumurannya yang sedang membacakan ayat suci Al-qur’an. Mereka sangat khusyu’ melafalkan ayat-ayat suci. Azan magrib telah dikumandangkan, para pelayat beramai-ramai keruang makan untuk berbuka puasa. Kini hanya ada Salija dan seorang perempuan yang duduk lesu dengan wajah yang begitu sedih. Ia adalah anak dari almarhumah, namanya Waru. Salija menghampirinya, saat mereka bertatapan mata kemudian tangis keduanyapun pecah. Salija memeluk Waru erat, dan menyampaikan turut berduka cita atas kepergian ibunya.
Malam kian larut, satu persatu orang yang melayat telah pulang kerumahnya masing-masing. Kini yang tersisa hanya penghuni rumah dan Salija. Keluarga yang sedang berduka tersebut sangat berterima kasih atas kedatangan Salija. Waru yang masih terduduk lesu kemudian beranjak ke kamar tamu untuk membereskan tempat tidur. Setelah kamar tidur dirapikannya, Waru mempersilahkan Salija beristirahat.
Salija merebahkan tubuhnya diatas kasur, dicobanya untuk memejamkan mata agar segera tertidur. Namun usahanya tersebut tak berhasil, pikirannya penuh dan rasa pilu dihatinya tak jua terobati. Kampung halamannya terasa sangat asing. Hatinya berbisik lirih “apakah aku sudah pulang?”.
Esoknya digelar acara mattampung semacam upacara jika ada kerabat keluarga yang meninggal. Kerabat yang ditinggalkan menyembelih sapi untuk disantap oleh para undangan. Upacara ini hampir seperti ta’siyah karena akan ada beberapa orang yang diundang untuk tadarus dan membacakan doa yang ditujukan kepada almarhumah. Seluruh sanak keluarga dan seisi kampung akan tumpah ruah. Mereka bekerja secara gotong royong, mulai dari dapur sampai acara utama di ruang tengah dikerjakan bersama. Kelihatannya tak ada yang berlaku layaknya seorang tamu, itulah masyarakat di kampung. Mereka menjunjung tinggi rasa kekeluargaan.
Salija semakin merasa asing ditengah orang-orang yang berdatangan. Walau dirinya berada diantara keluarga suaminya yang sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Kini Salija merasa bahwa tak semudah membalikkan telapak tangan untuk menjadi bagian dari keluarga. Apalagi interaksi antara mereka jarang sekali bahkan bisa dikatakan tak pernah. Setelah menikah Salija dan suaminya langsung angkat kaki meninggalkan kampung. Mungkin karena hal itu banyak kerabat yang tak begitu mengenalnya. Tak ingin terlihat kikuk didepan orang banyak, Salija menarik diri dari keramaian dan mencari sudut dimana dirinya bisa bekerja agar rasa tak enak hatinya sedikit berkurang.
Sudah dua jam Salija duduk menggosok panci dan kuali serta piring yang menumpuk. Jemarinya berkerut dan pucat karena kelamaan terendam air. Namun itu tak sebanding dengan kesedihan hatinya saat ini. Ada rasa penyesalan terbersit dibenaknya seandainya saja ia tak usah pulang. Bukan pekerjaan yang sedang dilakukannya saat itu, namun pengacuhan dan keterasingan yang membuatnya hancur. Sesekali ia menarik nafas dalam-dalam menahan air matanya berderai.
“idi’ tu daeng Salija5” tanya seorang perempuan yang seumuran dengannya.
Salija mengangkat wajahnya dan mendapati sosok yang sudah sangat lama dirindukannya. Sahabat yang telah berpisah selama tujuh belas tahun itu kini dipertemukan juga.
“anrikku Farida, iya’na daengmu Salija6” jawab Salija sumringah.
Farida dan Salija kini saling berpelukan dangan cucuran air mata bahagia yang disaksikan oleh para ibu-ibu yang sedang asyik memasak dan memotong-motong daging serta sayuran. Pekerjaan mereka terhenti sejenak karena terperangah melihat dua perempuan yang sudah tua berpelukan layaknya gadis ABG.
Farida yang memahami keterasingan yang dirasakan Salija kemudian segera mencairkan suasana. Ia kemudian memperkenalkan Salija kepada orang-orang yang sedari tadi tak memperdulikan keberadaan sahabatnya itu. Farida yang dihormati para warga menceritakan dengan seksama siapakah sebenarnya sosok yang sedari tadi ibu-ibu itu acuhkan. Para ibu-ibu kemudian tercengang dan serta merta tampak merasa sedikit bersalah.
Tragedi tujuh belas tahun yang lalu mengubah hidup Salija seutuhnya. Keputusannya untuk menikahi ata7–nya dianggap sebagai bencana buat keluarganya yang berketurunan arung. Penolakan keluarga akhirnya membuat dirinya menjadi ana’ riabbeang8. Peristiwa itulah yang memaksanya harus massompe’9.
Memulai semuanya dari nol, bekerja serabutan membanting tulang untuk sesuap nasi. Berjuang bersama sang suami di kampung orang membuat Salija menyadari betapa kerasnya hidup. Sebelumnya ia tak pernah merasa susah karena kecukupan yang diperolehnya dari keluarga. Walaupun demikian Salija tak ingin menyesali keputusannya karena pria yang telah dipilihnyapun berjuang keras menafkahinya.
Tahun-tahun berlalu menyaksikan kerja keras suami istri tersebut yang akhirnya membuahkan hasil. Kini mereka telah menjadi tuan tanah dan mempekerjakan berpuluh petani. Keberhasilan tersebut kadang membuat Salija sangat merindukan keluarganya. Ingin sekali dirinya pulang dan menceritakan kerja keras mereka kepada para puangnya. Namun urung ia tunaikan karena menghormati keputusan sang suami yang tak akan membuat mertuanya menjilat ludah sendiri.
Air mata seketika bercucuran membasahi pipi ibu-ibu yang ada didapur. Terlebih Farida yang telah lama menunggu kabar dari sahabatnya. Mereka larut dalam kesedihan mendengar cerita Salija. Sebagian terkagum-kagum karena kekayaan yang dimilikinya sekarang. Ana riabbeang yang kemudian menjadi Puang Aji10 pemilik tanah berhektar-hektar.
Bercengkerama sambil menikmati palabutung11 sajian favorit di kampungnya, membuat Salija tak kuasa menahan air mata. Teringat kebiasaannya saat bersama keluarga menikmati palubutung saat berbuka puasa. Sambutan hangat sahabatnya membuatnya merasakan lagi kehangatan keluarga yang telah dia tinggalkan. Kini ia merasakan telah berada di rumah, dikampung halamannya.
***
*Catatan :
1 Perantau
2 Terbuang
3 Panggilan atau gelar untuk para Bangsawan Bugis Wajo
4 Keponakan
5apakah kamu kakakku Salija?
6Adikku Farida, iya akulah Kakakmu Salija
7Budak atau orang yang melayani para Bangsawan / Orang biasa
8Anak yang terbuang atau tak diakui oleh keluarganya
9Merantau
10Panggilan untuk bangsawan yang sudah menunaikan ibadah Haji
11Kolak pisang