Cuma empat tulisan:
(1) dari anak SS
(2) dari tempat kuliah RW
(3) dari seberang SS
(4) dari tempat kerja SS.
Surat Terbuka
by laire siwi mentari
Menanggapi kabar buruk yang sedang terjadi saat ini, saya berusaha untuk berbesar hati. Ini berat sekali. Rasanya hancur melihat reaksi beberapa teman saya sendiri nyinyir menanggapi masalah ini. Padahal tidak semua berita yang mereka baca di media itu benar. Banyak yang diplintir dan dibesar-besarkan.
Tuduhan bahwa ayah saya, Sitok Srengenge, memperkosa dan menghindar dari tanggung jawab itu tidak benar. Bahwa ayah saya berhubungan dengan RW memang benar, tapi sama sekali tak ada unsur paksaan. Berkali-kali ayah saya berniat untuk bertemu keluarga RW dan mempertanggunjawabkan perbuatannya. Tapi usahanya itu tidak ditanggapi oleh pendamping RW. Seolah-olah akses justru ditutup. Selama beberapa bulan ini justru ayah saya menunggu kabar dari mediator tersebut. Sampai akhirnya kemarin berita beredar. Ayah saya dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pemerkosaan dan tidak ada tanggung jawab.
Saya sangat kecewa kepada ayah saya. Tapi saya tidak akan membiarkan ayah saya menjadi seorang yang jahat. Saya akan dukung dia untuk terus berusaha bertanggung jawab kepada RW dan keluarganya. Dan sebisa mungkin saya akan selalu mendampingi ayah saya. Biar bagaimana pun, saya tetap bagian dari hidup ayah saya dan tak ada siapa pun yang ia miliki kecuali saya dan ibu saya.
Sekali lagi, ini tidak mudah untuk saya dan keluarga. Semua orang berhak kecewa bahkan marah kepada ayah saya. Bahkan saya, sebagai anak, berhak seribu kali lipat lebih marah dari siapa pun. Tapi kemarahan saya tidak akan mengubah kondisi menjadi lebih baik. Setelah marah, lalu apa? Perlu disadari bahwa ada anak berumur 22 tahun sedang depresi menghadapi hidup. Ada janin yang sebentar lagi lahir. Dan ini juga pada akhirnya harus menjadi tanggung jawab saya untuk menguatkan RW dan calon adik saya.
Saya mohon doa dari seluruh teman yang sebesar-besarnya supaya saya dan ibu saya kuat menghadapi ini. RW dan janinnya juga senantiasa diberi kesehatan. Semoga semua ini cepat selesai dan tak ada kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang memainkan masalah ini hingga bertambah rumit. Dan, jika berkenan, mohon untuk tidak menggunakan kata-kata kasar untuk menanggapi masalah ini. Tidak untuk membela siapa pun, tapi setidaknya untuk menjaga perasaan kedua keluarga. Terima kasih sebesar-besarnya kepada para sahabat dan keluarga. Baik buruknya perlakuan kalian kepada kami, justru semakin menguatkan cinta keluarga kami.
Salam hangat,
Laire Siwi Mentari
sumber: http://lairesiwi.wordpress.com/2013/11/30/surat-terbuka/
Sikap BEM FIB UI Terhadap Kasus Mahasiswi FIB UI dan Sitok Srengenge
Menyoal musibah yang menimpa salah satu keluarga kami, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (BEM FIB UI) dengan ini ingin meluruskan informasi yang saat ini berkembang secara luas. Tulisan ini kami susun berdasarkan keterangan dari pengacara korban dan beberapa alumni yang terlibat dalam gerakan ini.
Salah seorang mahasiswi FIB UI menjadi korban pemerkosaan secara halus denganintimidasi mental oleh seorang seniman bernama Sitok Srengenge. Desember 2012, ia kenal dengan Sitok sebagai juri salah satu acara melalui hubungan kerja. Maret 2013, Sitok menghubungi korban yang pada saat itu tengah mengerjakan tugas akhir mengenai penelitiaan kebudayaan. Posisi Sitok sebagai seniman membuatnya berkomunikasi lagi dengan modus membantu pengerjaan tugas tersebut. Sitok mengondisikan dengan berbagai alasan yang ternama sehingga pertemuan berlangsung di kos. Pada kesempatan itulah awalnya Sitok melakukan pelecehan seksual (secara rabaan) secara paksa terhadap korban. Perlu diketahui, korban dikenal sebagai perempuan baik-baik nan lugu yang bahkan belum pernah berpacaran. Ia juga memiliki trauma masa lalu yang membuatnya mudah terpuruk ketika mendapat tekanan. Ketika mendapatkan pelecehan seksual secara paksa, korban mengalami ketakutan dan trauma yang sangat dalam.
Setelah kejadian, Sitok kembali menghubungi korban. Meski tidak dibalas, tetapi Sitok terus menerus melakukan “teror”. Korban yang sedang dalam kondisi terpuruk tidak punya pilihan selain berusaha untuk mengakhiri dengan bertemu langsung. Namun, dalam kesempatan tersebut pelecehan seksual meningkat statusnya menjadi pemerkosaan dengan intimidasi mental. Setelah itu, pemerkosaan dilakukan berulangkali dengan modus yang sama (tekanan mental dan rayuan menjebak).
Beberapa bulan kemudian korban diketahui hamil 4 bulan. Dalam kondisi kebingungan dan hilang arah, korban bercerita kepada salah satu alumni yang juga teman dekatnya. Alumni dan beberapa orang teman selama tiga bulan berusaha menelusuri kejadian sebenarnya. Hal ini berjalan sulit karena trauma korban yang sangat dalam. Belakangan diketahui bahwa korban sempat melakukan beberapa kali percobaan bunuh diri yang berakhir gagal. Sitok berkali-kali sulit dihubungi. Ketika dapat dihubungi, jawaban dari Sitok kira-kira adalah permintaan diam dan larangan menyebarkan informasi karena akan merusak nama baik Sitok.
Berdasarkan hal-hal di atas, BEM FIB UI mendukung korban yang masih menjadi bagian dari keluarga besar mahasiswa FIB UI. Perlakuan tidak pantas dan patut diduga sebagai perbuatan pidana asusila serta sikap tidak bertanggungjawab yang dilakukan oleh Sitok karena melukai moral, hak perempuan, masyarakat seni budaya, dan integritas pelaku sebagai seorang seniman yang sejatinya menjadi teladan dan paham akan budaya Indonesia. Kami mendukung segala bentuk perlawanan yang dilakukan oleh korban sebagai gerakan moral penyadaraan agar tidak ada lagi korban dari kasus serupa di kemudian hari. Sebagai informasi, selain korban juga ada beberapa orang lain yang didekati oleh Sitok dengan modus yang sama. Di luar sana, entah siapa lagi yang menjadi korban Sitok dan orang-orang yang berperilaku serupa?
Menjawab pertanyaan beberapa pihak yang menanyakan laporan setelah 7 bulan, ada beberapa hal yang harus kembali kami tekankan. Pertama, korban mengalami trauma yang sangat dalam dan hampir tidak dapat berkomunikasi dengan baik karena keadaan psikologis yang sudah lemah sejak awal. Korban baru dapat bercerita setelah dorongan selama tiga bulan dari teman dan keluarga. Sitok begitu hebat dan sadisnya mampu membungkam korban hingga trauma. Kedua, secara tegas ini adalah perbuatan asusila, bukan sekadar perbuatan tidak menyenangkan. UU di negeri ini belum cukup kuat untuk melindungi hak perempuan yang terlukai. Ketiga, secara norma, perbuatan ini telah melampaui batas, seorang seniman yang telah berumur melakukan pemerkosaan dengan kekerasan mental kepada perempuan yang seumur dengan anaknya dan melanggar batas norma adat ketimuran.
Terakhir, kami ingin mengajak seluruh mahasiswa untuk mendukung korban yang masih merupakan bagian dari keluarga di kampus dan menuntut Sitok Srengenge untuk bertanggungjawab. Fokus kita bukanlah pada identitas korban, tetapi pada kejahatan pelaku. Ini adalah gerakan moral untuk menyadarkan pelaku dan beberapa budayawan lain yang mempunyai perilaku sama. Ini juga merupakan gerakan untuk menghindari perilaku kekerasan terhadap kaum perempuan yang masih sering terjadi di negeri ini. Ini adalah gerakan untuk melawan tindakan yang berlawanan dengan intektualitas kita. Ini adalah saat kita untuk bicara kebenaran.
Badan Eksekutif Mahasiswa FIB UI
Catatan Pinggir Seputar Kasus Sitok Srengenge
Tentu saja aku pun tidak tahu tepatnya apa yang terjadi antara Sitok Srengenge dan mahasiswi berinisial RW itu. Justru untuk memastikan hal itu dibutuhkan pengadilan.
Namun ada beberapa hal yang menurutku agak ganjil dalam respon terhadap kasus itu di fb, twitter, comment berita dsb. Pertama, sebagian orang tampaknya cenderung tidak membedakan antara perselingkuhan dan pemerkosaan. Tiba-tiba urusan keluarga Sitok pun dibicarakan, seakan-akan ini urusan kesetiaan antara suami-istri. Seandainya Sitok cuma menyeleweng, ngapain kita ikut ribut! Itu urusan pribadinya. Tapi pemerkosaan atau pelecehan seksual adalah kekerasan, tindakan kriminal. Ini bukan sekadar urusan zinah atau pelanggaran moral, tapi tindakan kekerasan seksual!
Kedua, pada sebagian respon aku sama sekali tidak melihat ada sensitifitas terhadap kondisi psikologis seorang korban pemerkosaan atau pelecehan seksual. Misalnya, ada yang bertanya mengapa kasusnya baru sekarang diadukan, bukan langsung setelah kejadiannya. Tindakan kekerasan seksual seringkali membuat seorang perempuan merasa terhina, malu, dan seakan-akan kotor dan tidak berharga. Korban pemerkosaan mengalami trauma, bingung dan stres, kerapkali bahkan menyalahkan diri sendiri. Hal itu merupakan reaksi psikologis yang wajar dalam kondisi seperti itu, dan bukan tanda ketidaktegasan atau ketidakjujuran!
Di samping itu, bukankah memang pada kenyataannya justru korbannya yang sering disalahkan masyarakat? Perempuan yang diperkosa tidak jarang dibilang kurang pandai menjaga diri, berpakaian kelewat seksi, atau dituduh berbohong. Dalam kondisi semacam itu, bukankah wajar kalau korban bimbang, dan baru berani bersuara saat ada dukungan dan pendampingan?
sumber: http://boemipoetra.wordpress.com/2013/12/01/catatan-pinggir-seputar-kasus-sitok-srengenge/
dan ini tanggapan salihara
sumber: http://salihara.org/media/documents/2013/12/03/p/e/pernyataan_komunitas_salihara.pdf
pertanyaannya: ngapain diunggah?
biar inget aja. hehehe.