Industri kreatif apa ekonomi kreatif ya?
Kompas pagi ini dan kemarin menurunkan topik industri kreatif. Walau cuma secuil, tapi menurutku sih merupakan sebagian dari bukti adanya keberpihakan media utama untuk, minimal, memunculkan isu terkini mengenai industri kreatif.
Aku lupa siapa yang bilang di Kompas kemarin, yang menurutnya industri kreatif belum didukung oleh perbankan dalam rangka meningkatkan permodalan dan operasional kerja sehari-hari. Namun yang aku ingat, ia adalah salah satu pengembang aplikasi permainan interaktif yang dijalankan melalui komputer maupun konsol.
Nah mumpung lagi ada Jakarta Game Show berbarengan dengan IndoComTech, aku iseng buat tulisan ini. Bukan sola industry kreatif-nya sih, tapi soal permodalannya itu yang dimunculkan oleh perbankan.
Saking luasnya industri kreatif, aku sendiri agak bingung sama kata industri kreatif atau ekonomi kreatif. Sampe-sampe menurut @kramput, ibu-ibu rumah tangga main judi untuk nambah uang keperluan sehari-hari pun dikatakan sebagai industri kreatif. #Bhahak!
Bukan itu ding masalahnya.
Industri kreatif jika diterjemahkan juga termasuk pengusaha tas, kalung etnik, sepatu kulit, batik, maka sebetulnya dari dulu perbankan sudah memberikan dorongan permodalan melalui jalur UMKM, maupun kredit mikro. Kecuali untuk perusahaan yang memang skalanya besar, maka tentunya telah ditangani dengan baik oleh bagian kredit korporasi pada bank.
Gimana kalo disamain dulu aja persepsi soal ekonomi kreatif ini?
Untuk Kompas pagi ini, diceritakan mengenai asal muasal industri kreatif yang katanya dari negeri enggres, terutama saat Tony Blair mengusung tema industri kreatif ini untuk mengakali kompetisi dunia industri bagi Negara maju yang katanya lagi mulai kalah sama negara berkembang yang unggul pada bahan baku, harga produksi dan jasa yang lebih murah.
Maka, Om Blair bikin NESTA, tapi bukan soal pemain bola Itali yang gantengnya udubile itu, melainkan National Endowment for Science and the Art yang tujuannya mendanai pengembangan bakat-bakat muda di Inggris.
(catatan: jadi inggris punya dana dulu lho ya, supaya berkembang. Gak Cuma ide, tapi juga DANA).
Usai menang pemilu 1997 (Soeharto juga menang sih di tahun itu), Blair bikin Creative Industries Task Force. Alias Satgas Industri Kreatif.
(catatan lagi: bedakan dengan SBY yang bikin satgas mafia hukum dan nggak jelas sekarang lagi ngapain proyeknya).
Tujuan Satgas ini meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kontribusi industri kreatif terhadap perekonomian Inggris. Nah satgas ini gak berdiri sendiri. Dia di bawah naungan Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga (DCMS- Department of Culture, Media and Sports). DCMS di tahun 2008 bikin pemetaan mengenai industry kreatif ini.
(catatan: Bu Mari Elka Pangestu juga bikin saat jadi Mentri Perdagangan yang dikeluarkan tahun 2008. CMIIW)
Atau liat aja deh di sini:
http://www.indonesiakreatif.net/
Selanjutnya, katanya Kompas itu tadi, industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, juga bakan individu.
Untuk apa?
Katanya sih bisa ciptakan kesejahteraan (mirip PKS dong- minus Keadilan doang), serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengoptimalkan daya kreasi, daya cipta individu (komunitasnya-nya mana?). Ini mulai menjadi fokus pemerintah SBY sejak tahun 2006.
Nah ada 14 subsektor industri kreatif yaitu: periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan (ini lawannya kemalasan?), desain, fesyen, video, film, fotografi, permainan interaktif, musik , seni pertunjukkan, penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan perangkat lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan. (udah 14 biji belum tuh?)
Nah, pemerintah bikin kerja kelompok yang dikerjakan oleh Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pariwisata untuk mengawal ekonomi kreatif ini.
Terus, masalah utama yang masih menggelayuti ekonomi kreatif ini apaan?
Soal yang masih jadi PR kita bersama: maraknya pembajakan karya dan minat tinggi tapi daya beli rendah.
Nah masalah lainnya itu apa?
Soal biasa sih: duit. Katanya sih bank belum dukung mereka.
Masalah lain masih ada?
SDM. Katanya sih pendidikan di dunia industry kreatif ini masih kurang. Katanya lho ya, padahal kontribusi buat ekonomi nasional makin gede.
Demikian. (lho segitu doang???)
Nah, yang buat aku agak tertarik tuh di masalah nomer dua, yaitu soal industri ini yang gak didukung oleh dunia perbankan. Masa iye?
Kok jadi kambing item lagi sih soal dana ini. Kalo ngeliat 14 subsektor sih, kayaknya yang paling butuh perhatian bagi penghuni linimasa dan pelaku industry kreatif kecil-kecilan sok intelektuil, sok canggih aye itu ya soal permainan interaktif yang emang relatif masih baru di Indonesia. Iya enggak ya? Sama bikin aplikasi juga ding.
Bener gak ya?
Kalau untuk subsektor lain sih. Hadeuh! Bujubuneng deh, Bank mah doyan banget!
Baiklah, maka ada baiknya tulisan ini khusus bagi para pelaku industri kreatif yang “barang jualannya” adalah sesuatu yang tak kasat mata, susah dipegang, intangible asset (misalnya hak cipta-patent), teknologi canggih akan tetapi mudah digandakan, misalnya ya itu tadi, si pembuat permainan komputer yang interaktif.
Mengapa modal untuk soal ini butuh perhatian lebih?
Ya karena emang masih relative baru di sini. Bank mana kenal apa itu eidos, apa itu sega, apa itu Rovio? Bank di sini lho ya. Mungkin untuk orang bank yang lahir tahun 70-an atau lebih ya kenal. Tapi ya Cuma secara individu pribadi. Pas di kerjaan? Gila lu ndro, mau kasih kredit ke mereka? Apaan tuh? Rokok aja mereka masih ngutang!
Dulu pernah denger sih hello:motion sampe minjem duit Rp500jutaan untuk bikin sekolahan desain. Itu pun agunkan rumah ortu-nya, kalo gak salah. Nah kalo situ punya apa? iPhone aja masih ngimpi. #bhahak.
Oke deh. Terus kenapa tidak melalui VC?
Venture Capital, modal ventura, atau pihak-pihak yang memiliki dana banyak dan siap menggelontorkan uang untuk investasi perusahaan (baru). Iya sih. Itu katanya biasa dielu-elukan buat startup jualan dan menjadi kaya.
Tapi inget. Beda antara pembiayaan lewat VC dan perbankan agak prinsipil.
VC akan memangsa modal dan meminta bagian dari kepemilikan. Risiko emang jadi ditanggung bersama. Tapi ya itu tadi, kita bukan lagi jadi raja atas apa usaha kreatif yang kita buat.
Kalo perbankan, risiko ya kita yang tanggung sendiri. Munculnya jadi hutang. Tapi kepemilikan usaha? Kita sendiri yang punya. Enak tho. Asyik tho.
Tapi..
Ya itu tadi. Tak kenal maka tak sayang. Bank itu yang emang konservatif. Di negeri para bule sana banking emang mau member modal sesuatu yan relativf sudah pasti. Di manapun bahkan, Industri atau usaha yang udah eksis aja, yang jelas juntrungannya, baru bisa ikutan ngajuin kredit.
Tapi sebenernya masih banyak jalan kok menuju Liverpool.
Di dunia perbankan, kredit produktif pada umumnya itu dibagi dua besaran pokok. Satu. Kredit investasi dan satunya lagi kredit modal kerja. Ini kredit buat usaha lho ya bukan untuk konsumtif semisalnya buat KTA, beli rumah, atau ngangsur motor.
Nah bedanya apa kredit investasi dan modal kerja?
Pertama,
kredit investasi itu ya yang dibiayai itu adalah modal tetap, misalnya bikin pabrik, bikin gedung, bikin apalagi lah gitu. Jangka waktunya panjang. Kalo anak syariah bilang ini akad murabahah.
(catatan: kalo akad murahbanget dan mudahrebah sulit ditemui)
Kalo kredit modal kerja itu ya bahasa syariahnya musyarakah. Dia bicara modal lancar. Hitungan periodenya bisa per proyek, per pekerjaan. Misalnya pembatik uda punya rumah produksi, tapi gak ada modal buat beli kain, malam, pewarna, nah ini bisa ajukan kredit modal kerja ini. Jangka waktunya relative pendek. Setahunan lah.
Kalau diterjemahkan dalam industri permainan interaktif yang baru tumbuh ini, kredit investasi ya bikin studio, tempat bikin software. Kalo buat modal kerja apaan? Ya computer, alat music pengisi suara, dan semesta hal yang diperlukan untuk membuat suatu karya.
Terus?
Kedua,
soal bayarnya nih Om. Kredit investasi itu kalo bayar angsuran selain bayar pokok juga bayar bunganya. Agak berat ya? Gak juga. Kalangan perbankan mengenal istilah grace period, yaitu waktu tenggang misalnya 3 bulan pertama untuk para peminjam gak usah bayar dulu deh, karena dengan logika duitnya lagi dipake untuk bangun gedung dan belum beroperasi. Gituh. Boro-boro bayar, jalan aja belum.
Kalo kredit modal kerja situ bisa ngangsur cukup bunganya aja. Kalo orang syariah bilang sih cukup nisbah saja. Bagi hasil per bulan. Nah hutang pokok, bayarnya ntar pas uda habis jangka waktunya. Bleg! Sekali dibayar.
Terus om gimana nih dengan pelaku industri kreatif kecil-kecilan soal permainan interaktif ini gimana? masih rumahan lagi!
Ginih:
- Usahakan punya orderan proyek dulu. Modal cekak bikin portofolio yang banyak. Tawarkan. Ada proyek barulah ini langkah signifikan.
- Bikin kontrak yang bener-bener. Maksudnya semua jelas. Nilainya berapa, jangka waktu berapa, dan yakinkan bahwa proyek ini memang bernilai. Kontrak ini sangat berharga.
- Kontrak inilah jualan kita ke bank. Kredit modal kerja yang disasar. Di kontrak itu usahakan ada batu loncatan (milestone) pengerjaan. Misalnya: diterima konsep dianggap 10% kemajuan proyek. Ada berita serah terima yang dianggap sebagai pencapaian progress tadi. Ini akan jadi bukti ke bank.
- Nah selanjutnya kalau orang bank kenalnya kontrak kerja, purchase order, delivery order, nah kalo anak kreatif emang agak susah. Tapi ya itu tadi adanya tawaran pekerjaan sudah dianggap sebagai penawaran, kontrak dianggap persetujuan tender proyek. Ini bagi kita njlimet. Tapi bagi orang bank penting, sebagai sarana monitoring bahwa emang kredit yang diberikan itu buat pengerjaan modal kerja.
Jadi langkah pertama apa?
Ya mau gak mau, serius soal bikin usaha dan penuhi legalitas. Gak perlu bikin PT atau CV, bikin perseorangan juga bisa sih, tapi agak susah emang.
Pas mau bikin kredit, orang bank pasti bikin analisis. Nah susahnya kalo perusahaan perseorangan, harta orang dan usaha kan masih kecampur.
Makanya bikin aja lah CV atau PT. gampang kan. Modal mah minim aja. Tapi poin pentingnya adalah ada pemisahan harta kekayaan antara pribadi dan PT tersebut. (Kalo CV emang nanggung, karena dianggapnya hartanya masih kecampur).
Terus kelemahan kita, seperti apa yang dibilang Ferdinand de soto yaitu tidak menilai secara materiil apa yang dimiliki, padahl itu sesungguhnya asset juga.
Catat. Belajar mencatat seluruh kekayaan usaha itu.
Sewa kantor, komputer, sampe tatakan gelas, itung semua. Juga transaksi yang dulu pernah dicapai. Pernah bikin software apa lah gitu, misalnya mesin itung warnet, nah nilainya itung. Ini semua jika tercatat maka akan menjadikan orang bank tahu bahwa ada kehidupan dalam bisnis ini.
Dari perhitungan tadi jadi ketahuan cash flow kita bagaimana. Gak usah dibumbui. Biasa aja. Toh pada akhirnya untuk kredit modal kerja gak semata-mata soal historis. Tapi lebih utamakan peluang dan kemampuan membayar (balikin utang). Jadi ya itu tadi (lagi-lagi) kontrak kerjanya ada.
Lha Om, maksud kita tuh, industri yang gak melulu nunggu umpan pesenan. Kita produksi dulu baru ditawarkan ke pihak lain. Tapi kami yakin itu bisa jadi duit tuh. Kan kalo nunggu orderan malah kita susah juga.
Ya emang begitu ya. Agak susah emang soal ini. Memproduksi sesuatu yang belum tentu laku dan sulit dijual emang susah. Ada baiknya portofolio ini dibuat semacam preview aja. Kirim konsep sepenggal, dengan skenario besar yang memang sudah rampung (minus eksekusi aja). Kalau memang layak dan ada yang mau beli, baru lah itu dikerjakan dengan kesungguhan hati dan kocek yang banyak).
Ini akan ketahuan saat proyek kita makin banyak. Maksudnya orderannya. Ada yang minta bikin permainan untuk anak TK, ada yang bikin game olah raga, ada yang minta bikini video profil perusahaan, nah yang segambreng ini kan butuh dana pendahuluan, nah kredit modal kerja lah berperan. Ongkos karyawan aja juga merupakan modal kerja. Ini pun bisa diperhitungkan. Jadi saat butuh tenaga tambahan, atau komputer tambahan, atau biaya listrik PLN tambahan, ini akan membutuhkan modal. Masukkin aja soal ini ke pengajuan kredit yang memang sudah jelas ada proyeknya.
Begitu.
Om tapi kan saya gak punya agunan buat dijaminkan.
Tenang. Bank itu sebenernya simple kok. patokannya cuma 5C. Character, Capacity, Capacity, Conditions dan Collateral (googling aja lah sendiri apak maksudnyah).
Nah kan, jadi collateral alias agunan itu soal nomer 5. Yang penting sih benerin dulu karakternya. Kelakuan baik, dilihat berpotensi, dan ketahuan bukan muka calon ngemplang duit bank, maka orang bank bakalan percaya dan bahkan berlomba-lomba ngasih dana. Sumpah! Lha wong mereka aja ditargetin untuk cari peminjam jeh.
Demikian.
maksih om pencerhannya, saya belum bisa komen apa2, tapi info ini bagus banget. Thumbs Up 🙂
SukaSuka