Kita sering salah mengira: bahwa yang bergerak cepat itu hidup, dan yang melambat itu mati. Tapi diam bukan kematian, dan perlahan bukan kemunduran. Barangkali, justru dalam yang lambat, jiwa kita mulai bicara.
Ada yang menyebutnya slow living, semacam gaya hidup yang menolak riuh dunia yang terus mengejar, mengejar, dan mengejar. Dunia yang tak tahu kenapa ia terburu-buru, tapi tak pernah bisa berhenti.
Slow living bukanlah pelarian dari tanggung jawab, bukan pula sikap malas dalam balutan kata manis. Ia adalah seni memilih yang bermakna. Dalam dunia yang mengukur nilai diri dari kesibukan dan kalender yang padat, orang yang sengaja berjalan pelan kerap dianggap kalah. Padahal, mungkin dia sedang menyelamatkan yang paling sunyi: dirinya sendiri.
Sufi-sufi dulu menyebutnya tafakkur — berjalan pelan dalam batin, memeriksa diri, membiarkan dunia lewat tapi tidak ikut terseret. Jalannya lambat, tapi bukan karena lelah. Karena tahu ke mana akan menuju.
Sedangkan kita kini hidup dalam kecemasan yang sibuk. Kalender harian menjadi seperti ladang perang: penuh deadline, pertemuan, presentasi, dan target. Kesehatan mental kita dicabik di antara dua kutub: ingin berhasil, tapi juga ingin sehat. Ingin mendapat pengakuan, tapi juga ingin tenang. Maka wajar jika generasi ini kelelahan — bukan karena kurang kerja, tapi terlalu banyak peran.

Apakah pelan bisa menjadi penyelamat?
Barangkali, iya. Tapi pelan yang sadar. Bukan pasrah, bukan menyerah. Melainkan pelan yang bertanggung jawab. Karena, seperti kata para sufi: bukan kecepatan kaki yang penting, tapi kemurnian niat.
Di kampung para darwis, orang duduk berjam-jam menatap angin, lalu bilang: “Tuhan hadir dalam yang kecil.” Tapi kini, kita hanya mengizinkan Tuhan hadir dalam yang produktif. Yang menghasilkan. Yang viral.
Di situlah kita mulai kehilangan arah. Bahkan dalam membantu sesama, kita bertanya, “Apa manfaatnya bagiku?” Seolah semua harus dibayar kontan dengan pujian, dukungan, atau balasan. Padahal ada tanggung jawab moral yang tak bisa diukur dengan like dan donasi.
Kita perlu menghidupkan kembali keberanian untuk tidak tergesa. Karena banyak luka lahir dari sikap yang cepat tapi kosong. Hubungan yang dibangun tanpa hati. Keputusan yang dibuat tanpa renung. Dan hidup yang dijalani hanya demi terlihat hidup.
Slow living bukan soal mematikan ambisi. Ia soal memilih napas yang panjang agar sampai lebih jauh. Ia soal tahu kapan harus berkata “tidak” demi menjaga yang benar-benar penting. Ia soal mengerti bahwa dalam sunyi, kadang Tuhan sedang berbisik.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang cepat ini, ada kebijaksanaan kuno yang menunggu kita pulang. Dan dalam pelan, kita mulai mendengarnya lagi.
— selamat senin siang
(Dengan embusan debu dari lorong-lorong Sunyi)
Tinggalkan komentar