Di negeri yang menjadikan pertumbuhan sebagai mantra, uang adalah nyawa yang tak kelihatan. Dan bank adalah paru-parunya.
Kita hidup dalam sistem yang percaya bahwa likuiditas yang mengalir akan membawa kehidupan. Dana pihak ketiga adalah darahnya, kredit adalah denyutnya. Tapi tidak semua aliran membawa hidup.
Tiga tahun terakhir, likuiditas perbankan tampak cukup. Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) stabil di angka 25%. Tapi seperti semua angka, ia tidak selalu bicara utuh.
Dana pihak ketiga tumbuh melambat. Dari 8,6% di Juli 2022, turun ke 6,7% pada akhir 2023, lalu merosot ke 4,55% per April 2025. Tabungan tak lagi mengalir deras ke perbankan. Masyarakat tampaknya mulai bertanya: untuk apa menitipkan uang pada bank, jika bunga simpanan tertinggal dari inflasi dan instrumen lain jauh lebih menggoda?
Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan dari 6,00% ke 5,50% dalam waktu dua kuartal. Itu sinyal. Sinyal bahwa sistem keuangan sedang perlu digerakkan. Agar uang tidak mengendap. Agar bunga tidak hanya berbunga untuk dirinya sendiri.
Tapi bagaimana respons bank?
Data menunjukkan kredit tetap tumbuh dua digit. Di tengah DPK yang melambat, kredit tetap naik 10,9% (YoY per September 2024). Bahkan BI memperkirakan pertumbuhan kredit 2025 tetap optimis di angka 8–11%.
Dari mana dana itu datang?
Sebagian dari repatriasi luar negeri. Sebagian dari pembiayaan pasar uang. Sebagian dari modal internal. Dan sebagian besar—mungkin—dari harapan bahwa bunga kredit masih bisa memberi untung.
Maka pertanyaan besarnya tetap menggantung:
Apakah bank mendorong pertumbuhan, atau sekadar memburu rente?
Di ruang rapat dan presentasi investor, jawaban bisa sangat efisien: “Kami menjaga kualitas aset dan profitabilitas.” Tapi bagi seorang petani di Temanggung, atau pedagang kecil di Cibadak, jawaban itu tak selalu punya gema.
Karena yang mereka lihat adalah bunga pinjaman yang tinggi.
Karena yang mereka alami adalah syarat agunan yang tak masuk akal.
Karena yang mereka dengar adalah “maaf, belum layak pembiayaan.”
Dalam sistem yang lebih banyak mengucurkan kredit untuk konsumsi dan properti, bank bisa tumbuh, tapi ekonomi bisa pincang. Kredit untuk sektor produktif tak selalu jadi prioritas. Risiko tinggi, margin kecil. Maka uang lebih suka mengalir ke tanah, bukan ke pabrik. Ke mall, bukan ke lumbung.
Tapi mungkinkah salah bank?
Mereka hanya bermain dalam aturan. Dan dalam aturan itu, laba adalah napas. Risiko adalah racun.
Sistem ini tak dibangun untuk keberanian. Ia dibangun untuk kehati-hatian. Maka jangan heran jika bank lebih senang duduk di kursi nyaman rente, ketimbang berlari mengejar pertumbuhan riil.
Namun di tengah dunia yang rapuh, kehati-hatian bisa jadi ketakutan yang disamarkan. Dan likuiditas yang tak berani mengalir, bisa menjadi genangan yang membusuk.
Bank adalah penjaga aliran. Ia bisa memilih: mengalirkan air ke ladang, atau menumpuknya di kolam.
Tapi kita tahu, air yang mengalir terlalu lambat tak memberi panen. Dan air yang mengalir terlalu cepat bisa membawa banjir.
Yang dibutuhkan adalah arah. Dan keberanian.
Maka, mungkin bank harus mulai memilih kembali: ingin jadi pengusaha air—atau hanya penyimpan kolam.
Dan kita sebagai masyarakat—juga sebagai negara—perlu bertanya lagi:
Apakah kita ingin ekonomi yang tumbuh bersama rakyat,
atau sekadar sistem yang gemuk oleh rente?
Tinggalkan komentar