Pemerintahan Prabowo dalam Tafsir Sufistik: Kuasa sebagai Amanah, Negara sebagai Dzikir

oleh

inci

credit: KSP

1. Mukadimah: Bayang-Bayang Singa dan Jalan Sunyi

Dalam tasawuf, kekuasaan bukanlah tahta, melainkan ujian. Seorang raja, dalam kacamata para sufi, bukanlah siapa yang duduk di singgasana, melainkan siapa yang sanggup menundukkan dirinya dari keakuan. Ketika nama Prabowo Subianto disebut dalam gelanggang kekuasaan Indonesia, bayangannya menjelma tebal: singa tua yang bangkit setelah musim panjang permenungan.

Namun, dalam laku sufi, bahkan singa pun harus belajar sujud.

2. Niat: Segala Sesuatu Dimulai dari Hati

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat,” sabda Nabi. Dalam pemerintahan Prabowo, banyak yang bertanya tentang niat: apakah kekuasaan ini buah dendam sejarah, atau justru jalan untuk menebusnya?

Seorang sufi tak akan bertanya pada lahir, tapi pada batin: apakah kekuasaan ini membawa dzikir atau takbir pada diri sendiri? Pemerintahan Prabowo menjadi ruang kontemplasi nasional, tempat rakyat melihat apakah seorang jenderal bisa menitis menjadi seorang murid.

3. Negara sebagai Wali: Mengasuh, Bukan Menguasai

Dalam tasawuf, wali adalah orang yang paling dekat dengan Tuhan karena ia paling jauh dari dirinya sendiri. Negara pun demikian: ia hanya akan selamat jika ia hadir bukan untuk dirinya, tapi untuk mereka yang paling tak terdengar.

Pemerintahan Prabowo membawa janji untuk kembali pada kedaulatan pangan, pertahanan mandiri, dan ekonomi rakyat. Tapi seorang sufi akan bertanya: apakah semua itu dibangun dengan cinta atau dengan takut? Karena cinta menumbuhkan, sedangkan takut hanya menundukkan.

Jika negara adalah wali, maka rakyat adalah anak yatim yang perlu dirawat dengan kasih.

4. Kekuasaan sebagai Jubah Sementara

Dalam maqam sufi, dunia ini hanya bayangan. Maka kekuasaan pun hanyalah pinjaman. Jubah kebesaran, medali, bintang-bintang di dada—semuanya akan lepas saat tubuh kembali ke tanah.

Prabowo, yang pernah berada di pinggir, kini berada di pusat. Tapi apakah ia akan tetap menjadi orang yang sama saat keluar dari istana seperti saat ia masuk? Para sufi mengukur keberhasilan bukan dari jumlah bangunan yang tegak, tapi dari seberapa dalam tanah hatinya digarap.

5. Politik Sebagai Jalan Tarekat

Pemerintahan bisa menjadi jalan tarekat jika ia dijalani dengan mujahadah (kesungguhan), muraqabah (kesadaran), dan tawadhu (kerendahan hati). Politik tidak harus kotor, jika dilihat sebagai jalan menuju pengabdian.

Dalam tradisi sufi, pengabdian kepada makhluk adalah bentuk tertinggi dari penghambaan kepada Tuhan. Jika Prabowo melihat kursi kekuasaan sebagai sajadah, maka segala keputusan yang ia buat menjadi dzikir—meskipun dalam bentuk kebijakan fiskal atau diplomasi militer.

6. Dzikir Kolektif: Rakyat Sebagai Ruh Negara

Negara bukanlah bangunan fisik, bukan pula birokrasi. Dalam perspektif sufistik, negara adalah ruh kolektif: kesadaran bersama akan tujuan hidup yang lebih tinggi. Ketika rakyat lapar, maka ruh negara sakit. Ketika rakyat bodoh, maka cahaya ruh itu padam.

Pemerintahan Prabowo akan diuji bukan hanya pada kecepatan membangun, tapi pada kemampuannya membuat rakyat merasa dilihat, didengar, dan disayangi. Karena ruh tak bisa tumbuh dalam ketakutan—ia hanya berkembang dalam kasih dan rasa aman.

7. Penutup: Dari Prabu ke Murid

Nama “Prabowo” berasal dari akar kata “Prabu” — gelar raja dalam Jawa lama. Tapi dalam jalan sufi, raja yang sejati justru adalah murid sejati: ia yang tak pernah berhenti belajar, ia yang tahu bahwa kekuasaan hanyalah bayangan dari Yang Maha Kuasa.

“Raja sejati adalah dia yang menundukkan diri, bukan yang ditundukkan rakyat.”

Semoga pemerintahan ini menjadi semacam tarekat: jalan panjang menuju kebaikan bersama. Dan semoga kita semua—baik pemimpin maupun rakyat—bisa menjadi penempuh jalan sunyi, yang menyadari bahwa di balik gemuruh politik, hanya ada satu suara yang abadi: suara cinta.


Tinggalkan komentar