
Dalam hikayat para sufi, satu jiwa manusia adalah seluruh dunia. Jika satu jiwa terluka, seluruh alam pun bersedih. Dan jika satu jiwa pergi—terlebih dengan jalan yang getir dan sunyi seperti bunuh diri—maka langit seakan ikut menunduk dalam diam.
Di sebuah lembaga, hal ini terjadi. Seorang pegawai muda memilih mengakhiri hidupnya. Lembaga buru-buru memberi pernyataan: “Masalahnya di rumah.” SDM menambahkan: “Ia punya riwayat gangguan mental.” Kalimat-kalimat itu terdengar sejuk di atas kertas, tapi dingin di dalam hati. Seolah lembaga hendak membersihkan tangannya dari duka yang tidak bisa dibasuh hanya dengan klarifikasi.
Dalam sufisme, tidak ada batas mutlak antara ruang rumah dan ruang kerja. Kedua-duanya adalah lapangan hidup yang saling mengalir, seperti dua sisi sungai yang membawa beban dan kelegaan seseorang. Maka, ketika ada pegawai yang patah, seorang pemimpin sufistik tidak sibuk mencari siapa yang salah—melainkan bertanya: “Apakah aku sempat menyentuh hatinya?”
Pendekatan humanis dalam sebuah lembaga bukan sekadar mengadakan pelatihan atau menyediakan kotak saran. Ia adalah laku empati yang hidup: menyapa pegawai dengan benar, menanyakan kabar tanpa maksud lain, memberi waktu istirahat bukan hanya sebagai hak administratif, tapi sebagai bentuk kasih. Seorang atasan bukan hanya penjaga target, tapi juga penjaga jiwa.
Manusia bukan mesin. Bahkan mesin pun, jika berderit, perlu dilumasi. Seorang pegawai yang berdiam terlalu lama, yang tertunduk di meja, yang jarang bicara—itu bukan statistik yang harus dilupakan, tapi pertanda. Dalam tradisi sufi, gejala kecil adalah getar dari sesuatu yang lebih dalam.
Maka, ketika satu jiwa pergi, jangan buru-buru menjauh dari tanggung jawab. Tidak semua luka berasal dari satu tempat. Dan tidak semua beban terlihat di laporan kerja. Lembaga, jika ingin tetap hidup dan penuh makna, harus bertanya bukan hanya: “Apakah pegawai kami produktif?” melainkan: “Apakah mereka merasa dicintai?”

Penyembuhan tidak datang dari dalih, tapi dari keikhlasan menengok ke dalam. Barangkali yang dibutuhkan bukan audit, tapi doa. Bukan pemisahan urusan kantor dan rumah, tapi penyatuan hati. Karena dalam dunia sufi, satu-satunya jalan menuju terang adalah dengan mengakui gelap—dan memeluknya.
Semoga lembaga belajar dari kehilangan ini, bukan untuk sekadar memperbaiki sistem, tapi untuk menyadari bahwa mereka mengelola bukan hanya pekerjaan, melainkan kehidupan.
Dan semoga jiwa itu tenang, di tempat di mana tidak ada lagi tabel KPI, hanya pelukan Tuhan yang luas dan sabar.
—Untuk yang telah pergi dalam senyap, dan untuk yang masih bertahan dengan diam.
Tinggalkan komentar