Cermin Pecah di Tangan Bayang

oleh

inci

Tafsir Sufistik atas Jean Baudrillard

Pendahuluan: Ratapan dari Dunia Tanpa Pusat

Dalam dunia yang dijejali gambar, suara, simbol, dan tanda, kita terbangun bukan sebagai makhluk pencari Tuhan, melainkan konsumen dari realitas yang dikurasi. Jean Baudrillard, filsuf kontemporer Prancis, menelusuri dunia ini dengan kaca pembesar: dunia yang tampak nyata, tapi sebenarnya palsu—sebuah realitas tanpa referensi, sebuah ilusi massal.

Bagi para sufi, dunia semacam ini bukan hal baru. Ia dikenal dengan nama dunya, yang berarti “rendah” atau “dekat”—sesuatu yang mudah diraih tapi menjauhkan dari hakikat. Maka, mari kita menyelami gagasan Baudrillard melalui mata batin para sufi: mereka yang melihat dunia bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai cermin.

I. Simulakra: Ketika Bayangan Melupakan Cahaya

Baudrillard menyatakan bahwa dunia modern telah kehilangan aslinya. Yang kita lihat hanyalah simulakra: tiruan atas sesuatu yang tidak lagi punya dasar. Di masa lalu, gambar adalah representasi dari kenyataan. Sekarang, gambar itu menjadi pengganti kenyataan itu sendiri. Kita hidup dalam realitas buatan.

Ini sangat dekat dengan kritik sufi terhadap ilusi dunia. Dalam tasawuf, dunia hanyalah zill al-wujud—bayangan dari Wujud Ilahi. Ketika manusia terpaku pada bayang-bayang itu, ia terhijab dari hakikat.

“Dunia ini bagaikan mimpi. Bila engkau mati, maka engkau terbangun.”

— Hadis Nabi Muhammad, sering dikutip kaum sufi

II. Hiperrealitas: Menari di Atas Bayang-Bayang

Hiperrealitas adalah kondisi di mana realitas yang ditampilkan lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Restoran cepat saji, media sosial, dan siaran berita semuanya menciptakan dunia yang dikurasi, dipoles, dan dipenuhi citra.

Dalam tasawuf, ini disebut maqam ghaflah—kelalaian. Jiwa disibukkan oleh bentuk luar, padahal ruh mencari yang batin. Dunia ini menjadi panggung topeng. Dan seperti kata Rumi:

“Apa yang tampak hanyalah tirai, di baliknya ada Sang Kekasih yang menunggu.”

III. Nafsu dan Konsumsi: Penyembahan terhadap Simbol

Dalam The Consumer Society, Baudrillard menunjukkan bahwa manusia modern tak lagi membeli demi kebutuhan, tapi demi makna sosial yang melekat pada benda: status, gaya, dan gengsi.

Sufisme menamakan ini syirik khafi—kemusyrikan halus. Tidak menyembah berhala batu, melainkan menyembah nama, simbol, dan citra.

“Segala yang membuatmu merasa tidak membutuhkan Tuhan adalah berhala.”

— Rabia al-Adawiyyah

Zuhud dalam tasawuf bukanlah menolak dunia, tapi menolak dunia menjadi pusat keberadaan. Ini adalah pemutusan dari identifikasi palsu, dari rasa memiliki yang keliru.

IV. Perang dan Pertunjukan: Kekerasan yang Dipoles

Dalam The Gulf War Did Not Take Place, Baudrillard bukan menyangkal perang, tapi menyoroti bagaimana perang disiarkan sebagai tontonan: narasi yang dikontrol, gambar yang dikurasi, dan kematian yang disensor.

Para sufi akan menyebut ini sebagai bentuk riya’: melakukan sesuatu demi pandangan manusia. Bahkan jihad pun bisa menjadi teater jika niatnya bukan lillahi ta’ala.

“Barangsiapa berjihad karena nafsunya, maka ia hanyalah aktor dalam panggung dunia.”

— Imam Al-Ghazali

V. Jalan Kembali: Dari Simulasi Menuju Haqq

Baudrillard tidak menawarkan Tuhan sebagai solusi. Ia hanya menunjukkan jurang. Tapi para sufi melangkah lebih jauh: dari simulasi menuju Haqq—kebenaran yang hidup.

Jalan pulang adalah:

Menolak menyembah citra Mengenal diri Menembus hijab dengan cinta

“Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.”

— Hadis Nabi Muhammad

Dalam tasawuf, ini disebut fana—lenyapnya diri palsu agar tersisa hanya Wujud Yang Nyata.

🌌 Penutup: Cermin yang Pecah

Baudrillard telah melihat bahwa cermin dunia telah pecah. Yang kita lihat hanyalah serpihan yang memantulkan diri kita sendiri dalam bentuk yang kacau. Tapi para sufi tahu bahwa bahkan dalam serpihan itu, masih bisa terlihat secercah cahaya—asal kita berhenti mencintai bayangan dan mulai mengejar Wajah Yang Maha Nyata.

“Dunia adalah penjara bagi orang beriman.”

Tapi dalam penjara itu, Baudrillard menyisir jeruji. Dan para sufi, mereka mengajarkan cara melayang melampaui dinding.


Tinggalkan komentar