Sepenggal Pendapat Tentang Putri @FajarJasmin: Zipporah Imogen Divine.

Namanya cantik. Zipporah Imogen Divine.

Zipporah dalam sejarahnya adalah istri nabi Musa. Tzipora, anak ketujuh dari Bapak Jethro, entah seorang  pendeta entah penguasa dari Midianite. Dalam Alkitab, nama Zipporah disebut.

Imogen. Nama perempuan bangsa celtic dan anglo saxon. Konon katanya, Shakespeare menulis kisah cymbeline dan nama Imogen menjadi salah satu karakter utamanya. Ada kemungkinan Imogen masih bertalian kata dengan Maiden. Virgin. Ting-ting. Pasti tahu apa artinya.

Divine.  Bertalian erat dengan konsep divinitas. Kepercayaan yang transendenal pada hal hal yang agung. Diva. Dewa. Sesuatu yang lebih hebat dari makhluk biasa. Atau bisa dikatakan malah bukan makhluk tapi mereka zat yang agung.

Maka, ketika seorang manusia dengan makna yang begitu mulia: Perempuan setia yang selalu menjaga kesucian dan kepribadian bagai dewi  disebut-sebut dan banyak menimbulkan aura kebencian bagi banyak pihak, maka, ada apakah gerangan yang terjadi?

Mari kita sama-sama hayati gambar berikut ini:

Yang Terhormat. Orang Tua Zipporah Imogen Divine. Hasil rapat tim dan koordinator penerimaan murid baru. yayasan kami. dengan berat hati. memutuskan. membatalkan. keputusan menerima. Imi. Calon siswa. karena beberapa  orang tua calon siswa lain. menolak. keberadaan imi. Mohon maaf. dan pengertian. atas nama SD Demam Berdarah Satu.

Ini dikirimkan melalui SMS. diabadikan pukul 13. 43 PM. Hari ini? Baiklah diasumsikan hari ini. Tepat saat memperingati Hari AIDS Sedunia.

Apa yang menarik?

Orang Tua Imi, panggilan sayang Zipporah Imogen Divine, Fajar Jasmin rupanya positif HIV.  JIka menilik sms yang disampaikan SD Demam Berdarah, maka orang tua calon siswa lain mengetahui kondisi Imi dan orang tuanya  jauh-jauh hari. Mereka mengetahui bahwa Imi adalah anak dari orang tua yang positif HIV. (saya tidak tahu apakah Ibu Imi juga positif?) dan kemudian mereka mengajukan keberatan kepada pihak sekolah maupun yayasan.  Ini baru sebatas penuturan perwakilan dari pihak sekolah.

Apakah memang benar orang tua siswa yang keberatan?

Pihak sekolah dengan santun membuka dan menutup pemberitahuan melalui sms tersebut. Yang TER-hormat. Mohon Maaf. Mohon Pengertian. Apalagi yang bisa diberikan pihak sekolah?

Banyak.

Mari kita jenguk situs SD Demam Berdarah 1 ini. Eh, maaf jika salah sebut. nama SD-nya Don Bosco I.

VISI

  • Menjadi komunitas Akademik yang unggul dan berkarakter.

MISI

  • Mengembangkan civitas Don Bosco Menjadi cerdas, terampil, dan cinta kemanusiaan.
  • Memberi pelayanan pendidikan bermutu.

SD Don Bosco  adalah sekolah katolik milik yayasan. Sesuai dengan namanya, sekolah ini menghormati dan mengikuti ajaran Santo Don Bosco yang dikenal sebagai Bapak dari Pengajaran bagi anak muda. Terkenal dengan  wejangan: “Make yourself humble, strong and robust”. Juga: “Give me souls, take away the rest”.

Maka akan menjadi aneh jika sekolah dengan misi: cinta kemanusiaan kemudian menyerah pada desakan orang tua bahwa ada satu anak yang orang tuanya mengidap HIV dan sebaiknya tidak jadi diterima dan atau dibatalkan di sekolah tersebut.  Itu pun jika memang benar para orang tua yang mengusulkan hal tersebut.

Maka apakah wajar jika orang tua Imi kesal? Ya. Bagi saya wajar. Seberapa pantas kekesalannya ditampilkan?

Sekolah Don Bosco Diskriminatif.

Apakah benar hal tersebut di atas adalah suatu bentuk diskriminasi?

Apa sih diskriminasi itu? Bukankah secara sederhana diskriminasi dimaknai sebagai bentuk perlakuan yang tidak menyenangkan dan merugikan bagi pihak tertentu dalam satu komunitas atau kumpulan?

Menurut hemat saya, SD Don Bosco belum dapat dikatakan  melakukan tindakan diskriminatif.

Mengapa?

Kapan Don Bosco mengetahui kondisi orang tua Imi? Jika dari dulu mengetahuinya, toh Imi sempat diterima menjadi calon siswa. Jika Don Bosco baru mengetahui dari pengaduan orang tua, dan atas desakan orang tua, bukankah tidak serta merta Imi dikeluarkan begitu saja, melainkan melalui sebuah proses.

Sekolah menyatakan bahwa mereka melakukan rapat, mencari pendapat terbaik dan diputuskan secara bersama-sama antara yayasan dan panitia penerimaan. Saya dapat membayangkan bahwa dalam proses tersebut terjadi silang pendapat. Atas dasar kemanusiaan. Atas dasar Keadilan. Atas dasar cinta kasih. Atas dasar pengaduan. Atas dasar desakan. Atas dasar ancaman. Atas dasar apalagi?

Sulit untuk memutuskan hal semacam ini. Namun apabila proses pengambil keputusan benar-benar dijalankan dengan semangat cinta kasih, kehati-hatian dan dengan kesadaran penuh bahwa pendidikan anak adalah milik semua, maka apapun keputusannya patut dihormati. Bahkan jika ternyata sangat mengecewakan.

Bagi orang teknik  dan atau bagi orang sosial ada perbedaan bobot/ gradasi untuk menilai suatu kondisi atau hal misalnya:

  • hal, masalah, keberatan, perselisihan, sengketa, tuduhan, gugatan.
  • atau: technical error. lack of competence or experience. incompetent- neglect. reckless dan terakhir negligent.

semua punya bobot yang berbeda. ada gradasi yang jelas, pada kolom mana sekolah don bosco sebaiknya disematkan.

Diskriminasi adalah manakala Imi,  secara sistematis tidak dapat diterima oleh Don Bosco karena dipersyaratkan bahwasanya siswa harus sehat jasmani dan rohani, berikut kedua orang tuanya. Dalam hal ini spertinya don bosco tidak sampai pada taraf itu. Mereka dengan senang hati menerima Imi. Ini masih normal. Lantas orang tua siswa lain keberatan. Normal. Mengambil jalan terbaik, dan dirapatkan. Normal. Hanya saja hasilnya mengecewakan salah satu pihak. yaitu orang tua Imi. Ini pun respon yang normal.

Hasil keputusan ini tentu saja dalam bentuk kebijakan. bukan aturan. Dalam kaidah hukum ini dinamakan beschiking (kebijakan). beda dengan regelling (atau aturan). Kebijakan yang diambil oleh sekolah hanya mengikat pada obyek dan waktu khusus yaitu Imi.  Apakah tidak ada kebijakan yang salah dan tidak boleh diganggu gugat? tentu saja boleh dan berhak.  Bahkan, misalnya, saat saya tidak senang pada tatapan mertua kepada saya pun, saya berhak mengajukan teguran, keberatan, gugatan bahkan ancaman. Semua orang berhak mengambil tindakan apapun yang menurutnya perlu dan pantas.

Keputusan dewan sekolah yang membatalkan keputusan menerima Imi merupakan respon dari desakan orang tua. Salah? tidak.

Jika anak saya pendiam dan pintar, lantas ada orang tua yang tidak senang anaknya selalu kalah  dalam prestasi dan meminta anak saya dikeluarkan dengan alasan nakal dan tidak disiplin, maka ini lah diskriminasi itu. Aturan menyebutkan yang boleh dikeluarkan hanya anak nakal dan tidak disiplin. Sedangkan kenyataannya anak saya tidak memenuhi unsur nakal dan tidak disiplin. Sekolah hanya beralasan. Mencari celah. Sekolah mengambil langkah diskriminatif.  Namun bukan aturannya yang diskriminatif, tapi kebijakan yang diskriminatif.

Atau contoh lainnya Jika Don Bosco membuat aturan:

“Yang boleh bersekolah harus sehat jasmani dan rohani, termasuk tidak boleh buta warna, suka ngeces, dan atau kaki panjang sebelah.”  Ini jelas aturan yang diskriminasi.

Sekolah melanggar Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional?

Pasal 4.

(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

selanjutnya dalam Pasal 7:

Pasal 7

(1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.

(2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

Semua orang tua berhak berperan serta memilih. Inilah yang menjadi dasar saya menyatakan bahwa orang tua yang keberatan pun boleh mengajukan usulan untuk tidak menerima anak lain yang mereka tidak suka. Atas dasar ketidak tahuan, kebegoan, ketidaknyamanan, ketidaksukaan, atau apapun alasannya.  Usulan hanyalah usulan. Desakan hanyalah desakan. Boleh saja bukan?

Sekolah sudah menyampaikan maaf dan mohon pengertian. lantas hendak minta apalagi?

Oh pemberitahuan dibuat dengan kertas halus, bersulam emas, amplop desain ciamik, diantar oleh ketua yayasan dan dibicarakan secara lisan maupun diserahkan surat pemberitahuan itu? Boleh. Itu sesuatu yang wajar yang diharapkan oleh orang tua Imi. Faltor ini memang yang menjadi kekurang sekolah Don Bosco dalam penanganan permasalahan ini. SMS bisa jadi mudah, murah dan praktis. Hanya saja kurang santun.

Tapi saya tidak menjamin, apabila Don Bosco pun telah memberikan surat tertulis dan disampaikan secara lisan oleh Kepala Sekolah atau Ketua Yayasan maka orang tua Imi akan tidak kecewa. Namun setidaknya ini adalah langkah mitigasi risiko. “Datang tampak hidung Pulang tampak punggung.” Ketika Orang tua Imi mendaftarkan anaknya dengan sejuta harapan, tentunya tidak mendaftar dengan sms. Datang baik-baik. Maka balaslah secara baik-baik. Bukankah kita tidak sedang hidup di Kutub Selatan?

Buat apa menggunakan cara-cara barat untuk memberi pelajaran pihak lain dengan saling menyakiti lewat pengadilan. Ciptakan kedamaian. Ajukan permintaan kepada Don Bosco untuk memberitahukan pembatalan tersebut secara resmi dengan surat tertulis.

Toh, Don Bosco pun memiliki beban yang teramat berat. Terlanjur dianggap sebagai sekolah yang sudah tidak independen dan kurang memiliki karakter. Hanya karena desakan orang tua, mereka mengubah keputusannya sendiri. Sekolah galau. Apa yang bisa diharapkan dari sekolah yang tidak memiliki kepribadian yang teguh. Berani mengambil sikap. Sekali menerima, teruslah menerima. Membatalkan sesuatu, bagai apalah gitu.. Dan terberat: melanggar visi dan misinya sendiri.

Tuhan Maha Pengasih. Setiap masalah pasti ada hikmahnya.

akhir kata, dalam situs Don Bosco ada tempat dimana kita bisa memberikan saran dan usulan perbaikan. Gunakan saja.

http://sd1.sekolahdonbosco.org/beranda-sekolah/saran-perbaikan.

Saya percaya, Imi akan lebih senang jika sekolah dengan gembira. Teman-teman gembira, para orang tua gembira. Karena Don Bosco pun bercita cita bahwa sekolah adalah ‘Cheerful Society’. Imi pun masih punya waktu untuk mencari sekolah lain. Manusia mulia lahir dari mana saja.

Selamat malam. Selamat Memperingati Hari AIDS Sedunia.

Jakarta, 1 Desember 2011

Santo Terong

Diterbitkan oleh roysayur

Karena sayur begitu ngeRoy!!

Ikuti Percakapan

11 Komentar

  1. Saya tidak sependapat dengan anda. Contoh diskriminasi yang anda contohkan juga tidak pas dengan situasi Imi. GBU.

    Suka

  2. yang saya tangkap dari membaca linimasa ibu dari Immi, sekolah pada awalnya akan menerima Immi, walaupun ayahnya penderita HIV+ (http://twitter.com/#!/LeonnieFM/status/142143180513615872). tapi kemudian “tiba2 seorang dr pihak Yayasan minta Immi submit hasil test HIV. Saya tanya apa relevansinya kl sekolah sdh prinsip nondiskriminasi.” (http://twitter.com/#!/LeonnieFM/status/142144002567831552)
    Jadi, untuk sementara ini saya mengambil kesimpulan sekolah sudah mengetahui sejak awal ayahnya menderita HIV+, dan tidak menjadi masalah. Tetapi kemudian menjadi masalah. Inilah yang disebut orangtua Immi sebagai diskriminasi.

    Suka

  3. Ulasan yang baik. Mengajak kita untuk selalu berpikir positif. Tetapi saya sama sekali tidak memikirkan pihak sekolah, para orang tua murid, maupun orang tua Imi sekalipun. Saya hanya memikirkan Imi. Semoga anak ini memiliki pengertian yg luar biasa akan hal ini dan tidak patah semangat atau pun berbalik membenci ke 2 orang tuanya ataupun hidupnya. Zipporah Imogen Divine GBU!

    Suka

  4. Tulisan yang menarik.
    Saya pun sependapat.
    dulu saya sekolah di DB I. Wajar saja kalau sekolah mensyaratkan sehat jasmani rohani. Wajar saja kalau orang tua yang lain memprotes. Memang nyatanya masyarakat begitu. Orang tua lain berbeda dengan orang tua Immi. Berbeda pendapat itu sah.

    Tapi untuk dikatakan diskriminasi. Itu perlu dikoreksi.
    waktu di DB I ada teman saya yang mengidap Leukimia. Bukan lagi “hanya bapaknya” tapi dianya sendiri. DB I toh tidak mengusir. Dia tetap mempersilakan anak itu sekolah walau meminta surat kesehatannya.

    Meminta surat kesehatan bukan berarti menghina kita sakit kok. Jaman sekarang orang kuliah desain dimintain surat test buta warna, kan toh bukan buat ngatain kita buta warna kan?

    Suka

  5. Setuju dengan ulasan Santo Terong, pada prinsipnya pihak sekolah juga mengambil keputusan atas dasar keputusan dan desakan pihak orang tua lain, memang sebuah keputusan tdk bisa menyenangkan semua pihak.
    Pihak org tua siswa yg lain pun memikirkan untuk keamanan anak mereka (hal ini sangatlah wajar)
    Apabila keadaan sudah seperti ini bila dipaksakan juga kasihan Immi nantinya, apakah org tua yg lain mengijinkan anak mereka bergaul dengan Immi ? Guncingan yg timbul…
    Sebaiknya dicari solusi lain seperti home schooling … coba mohon dipertimbangkan ulang (untuk org tua Immi), terima kasih

    Suka

Tinggalkan komentar